Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemerdekaan Penyair

10 Juni 2016   09:39 Diperbarui: 10 Juni 2016   09:51 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika Indonesia punya hari kemerdekaan 17 Agustus, maka kapan hari kemerdekaan penyair? Agak mengada-ada memang pertanyaan ini. Namun, sekali sekali perlu juga dibicarakan. Terlepas dari apakah sampai sekarang masih ada penyair yang merasa terjajah kepenyairannya ataukah justru semua penyair sudah merasa merdeka berkarya.

Kemerdekaan bermakna suatu keadaan atau hal berdiri sendiri; bebas; lepas; tidak terjajah lagi. Kemerdekaan penyair bisa diartikan kondisi di mana penyair dalam berkarya mampu berdiri sendiri, tidak tergantung siapa pun; bebas dalam menyuara isi hati dan pikiran; lepas dari segala tekanan dan pesanan siapa pun; dan pasti tidak terjajah oleh kepentingan apa pun.

Karya seorang penyair adalah puisi. Kemerdekaan seorang penyair adalah kemerdekaannya dalam menulis puisi. Jika dihubungkan dengan unsur unsur sebuah puisi, maka kemerdekaan penyair bisa pula dikaitkan dengan kebebasannya dalam menemukan ide, menentukan tema, memilih diksi, merangkai kata menjadi larik, menentukan rima, bahkan tipografinya.

Dalam sejarah sastra Indonesia, lebih khusus sejarah perpuisian, tercatat beberapa titik yang dijadikan tonggak perkembangan perpuisian Indonesia. Perkembangan ini bisa dipahami sebagai suatu situasi di mana dunia perpuisian mengalami kemerdekaan. Hal ini tentu merujuk kepada tokoh dan karyanya yang monumental, bahkan berbeda secara prinsip

Menurut saya, pada era puisi lama, tonggak kemerdekaan penyair dimulai oleh Raja Ali Haji (1808-1873). Pengarang puisi Gurindam XII ini memulai gaya penulisan puisi non-naratif, didaktik, dan secara terbuka mengusung warna Islam, yang belum pernah dilakukan penyair sebelumnya. Ali Haji secara berani membuat untaian dua larik dengan pesan moral dan agama yang terang benderang.

Pada era puisi baru, setidaknya ada tiga tonggak penting kemerdekaan penyair. Pertama, masa penyair Balai Pustaka (1920-an) yang membebaskan diri dari konvensi puisi lama, yang taat pada jumlah larik dan rima. Kedua, masa Pujangga Baru (1930-an) yang memerdekakan diri dari sensor terhadap karya oleh Balai Pustaka. Ketiga, masa Angkatan 45, yang lebih membebaskan diri dari persoalan masa lalu Indonesia dengan bergerak pada hati nurani sesuai alam kemerdekaan.

Setelah ketiga masa itu, angkatan 66 sampai era 2000-an sekarang ini, perpuisian Indonesia sudah makin merdeka. Penyair dengan segala kekuasaannya terhadap karyanya berusaha menunjukkan siapa dirinya dan ke-khas-an karyanya. Remy Sylado dengan puisi Mbeling-nya dan Sutardji Calzoum Bachri yang membebaskan kata, bisa dijadikan contoh. Namun begitu, masih ada penyair yang justru kembali memasung dirinya dengan terikat jumlah larik dan kata, yaitu pada puisi Haiku dan Sonian.

Jika demikian, kembali kepada penyairnya. Apakah ingin betul betul menikmati kemerdekaannya atau sekadar ikut arus dan takperduli mau terpasung lagi. Widji Thukul, penyair yang ‘hilang’ sejak 27 Juli 1998 ini sangat jelas menggambarkan bagaimana penyair memerdekakan dirinya: jika tak ada mesin ketik / aku akan menulis dengan tangan / jika tak ada tinta hitam / aku akan menulis dengan arang / jika tak ada kertas / aku akan menulis pada dinding / jika aku menulis dilarang / aku akan menulis dengan / tetes darah! ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun