Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kekasih yang Tak Dianggap

21 Juni 2016   00:04 Diperbarui: 21 Juni 2016   14:49 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: mineralenergi.com

Hari Minggu kemarin, saya punya pengalaman ditolak oleh tukang cukur rambut. Siang itu, saya ke tempat cukur langganan karena merasa rambut sudah panjang. Dua tukang cukur yang ada terlihat santai. Itu berarti tak ada pelanggan dan saya harusnya bisa langsung dilayani. Namun, begitu menampakkan diri di depan mereka, salah satunya berdiri dan mendorong telapak tangannya sambil berkata, “Kada bisa, Pak, lampu mati!”

Saya jadi jengkel karena hanya dengan alasan listrik padam mereka menolak mencukur rambut saya. Baru terpikir bahwa alat cukur mereka sangat tergantung dengan listrik. Mereka tak punya lagi alat cukur manual yang dijepit dengan jari-jari. Saya lantas teringat dengan tukang cukur keliling zaman dulu, yang siap mencukur rambut siapa pun dengan alat sederhana tanpa bantuan listrik.

Sepertinya hidup kita sekarang sudah sangat tergantung dengan listrik. Apa apa yang dulu mestinya bisa dikerjakan tanpa listrik sekarang seperti tak punya nyawa bila tanpa listrik. Pegawai di kantor-kantor punya alasan ‘mogok kerja’ gegara komputer mati kehabisan daya dan AC tak berfungsi. Bahkan, pasien di rumah sakit harus menunda terapinya hanya karena alat kesehatan berdaya besar tak dialiri listrik.

Celakanya, sampai usia Kalimantan Selatan 65 tahun lebih ini masyarakat hanya punya satu pemasok listrik: Perusahaan Listrik Negara alias PLN. Tiga huruf ini jadi semacam wirid yang sering diucapkan oleh kita, bukan karena kekaguman, melainkan lebih kepada kemarahan akibat listrik yang diharapkan setia mengalir ternyata hanya kadang-kadang. PLN seperti kekasih yang tak dianggap: dibenci tapi dirindu.

Urang Banua selama ini memang dikenal baik hati dan tidak temperamental. Jadi, biar padam berkali kali atau berhari hari pun tak akan protes sampai bahahancuran, seperti saudara saudara kita di pulau Jawa yang apabila padam satu jam saja sudah demo besar-besaran di depan kantor PLN. Apakah karena itu lantas PLN, atau lebih khusus lagi pejabat PLN, tak pernah merevolusi caranya mengatasi krisis listrik di daerah ini.

Permakluman masyarakat Banjar memang tak bisa diukur dari larisnya mesin genset, lampu emergensi, atau pun puluh ribu batang lilin dibeli sebagai pengganti penerang saat lampu padam. Hal ini terjadi karena memang tak ada pilihan lain yang dilakukan ketika PLN menunjukkan arogansinya memadamkan listrik. Ataukah karena sudah termakan adagium, “It’s better to light a candle than curse the darkness”.

Mengutuk kegelapan memang buang-buang waktu. Namun, jangan dianggap buang-buang waktu jika ‘mengutuk’ (pejabat) PLN. Kalau mengandalkan ‘diam itu emas’, maka PLN akan setayuh tayuhnya memperbaiki keadaan. Banua sudah kenyang dengan janji surga bahwa tahun depan tidak ada pemadaman, tahun depan krisis listrik teratasi, dan nyatanya tahun depan itu tetap seperti tahun kemarin “pajah kada bapancung”. (Baca lagi esai saya 31 Januari 2016).

Saya pikir menjadi sangat wajar jika beberapa minggu ini urang Banua mulai bereaksi atas nasibnya yang semakin ‘kadap’ ini. Mengingatkan pemimpin Banua, anggota dewan, dan terutama wadyabala PLN, bahwa krisis listrik ini harus segera diatasi seperti apa pun caranya. Banua tak kekurangan orang pintar, apalagi orang sugih. Banua hanya kekurangan orang yang cerdas!

Tak usahlah menyindir nasib kita seperti 'tikus mati di lumbung padi'. Kita urang Banua bukan tikus. Dan kita bukan mati karena kekenyangan. Kita adalah pemilik sawah yang tak bisa makan dari padi yang kita hasilkan sendiri. Beras kita menguap entah ke mana. Yang tertinggal hanya tumpukan sekam yang setiap saat bisa terbakar jika api di dalamnya dibiarkan. Ayo PLN, Kamu pasti bisa! ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun