Delapan tahun yang lalu takpernah terbayangkan oleh siapa pun warga kota, bahkan oleh seorang Ir. Muryanta, Kadis Sumber Daya Air dan Drainase Kota Banjarmasin sekali pun, yang memulai perencanaan dan pembangunan siring sepanjang Jalan Piere Tendean, bahwa siring itu sekarang menjadi tempat luar biasa. Tahun 2008, yang terpikir saat itu adalah merapikan bantaran sungai dan membuat jalur ruang terbuka hijau sekaligus jogging track.
Yang saya baca dari media, kendala awal ketika membangun siring tersebut adalah alotnya proses pembebasan lahan siring dari Jembatan Pasar Lama sampai Jembatan Merdeka yang memakan waktu bertahun tahun. Begitu juga, ketika tiga tahun pertama pembangunan yang diproyeksikan selama 5 tahun itu mulai, ternyata dana bantuan dari pemerintah provinsi dan pusat melalui APBN juga belum turun.
Tahun Baru 2011, warga kota Banjarmasin pertama kali menikmati Siring Tendean, walau dengan fasilitas seadanya. Ada pemandangan yang seru ketika warga kota yang menikmati malam pergantian tahun saat itu sudah bisa berhadap-hadapan antara siring Tendean, yang baru, dan siring Sudirman, yang sudah lebih dulu ada. Sungai Martapura yang diapitnya pun bermandi cahaya.
Pembangunan fasilitas penunjang siring Tendean berlanjut. Pendirian Menara Pandang setinggi 38 meter untuk melihat wajah kota dari ketinggian, sempat dipertanyakan. Ketika bangunan di bantaran sungai digusur, justru Pemko membuat bangunan baru di atasnya. Renovasi Rumah Anno 1925 dari bangunan asli ke replikanya juga ada tantangan. Rumah yang bisa menjadi cagar budaya itu ternyata takberbahan ulin itu sudah rapuh.
Yang paling mendapat sorotan bergelombang adalah pembangunan Maskot Patung Bekantan. Perencanaan yang sudah matang dan disepakati oleh semua pihak, dari ulama sampai budayawan, masih terkendala persoalan teknis hingga tertunda beberapa kali. Namun, pemko the show must go on. Patung Bekantan yang mencurahkan air dari mulutnya akhirnya juga berdiri, dilengkapi dua lapangan basket di sebelahnya.
Empat tahun terakhir, warga Banjarmasin, bahkan Kalimantan Selatan dan luar provinsi sudah mulai menikmati keajaiban Siring Tendean. Jalur sepanjang 1,10 km dari Jembatan Pasar Lama sampai Jembatan A. Yani itu setiap hari, pagi, sore, dan malam, menjadi tempat berkumpul massa. Apalagi akhir pekan, dari Sabtu dan puncaknya Minggu pagi, warga tumpah ruah hingga sudah bergerak mengarah ke Pasar Terapung siring.
Siring Tendean benar benar sudah menjadi magnet bagi warga. Setiap hari selalu ada saja kegiatan. Di lantai dasar Menara Pandang, di panggung Tenda Putih, di tamannya, bahkan di sungai. Ada latihan seni, senam, diskusi, lomba lomba, bahkan untuk peluncuran produk. Siring juga menjadi tempat penciptaan ekonomi kreatif warga, dari PKL, pameran dagang, sampai jasa naik klotok.
Kita salut dengan Disparsenibud Kota Banjarmasin yang diserahi sebagai pengelola fasilitas sepanjang siring. Ini bukan sebuah pekerjaan mudah, tersebab diperlukan sebuah kerja keras dan kepekaan dalam mengelolanya. Bagaimana menjaga ‘keajaiban’ yang sudah terlanjur tercipta ini. Paling tidak, tetap menjaga fungsi siring Tendean sebagai ruang terbuka hijau dan kenyamanan pejalan kaki sepanjang siring tanpa terhalang oleh apa pun.
Siring Tendean sudah hadir dengan gagahnya. Jika toh masih tersisa adalah sedikit kenangan. Apabila memandang ke dari depan kantor Bappeda, maka teringat rumah kakek saya di seberangnya, di samping Langgar Al Hinduan yang masih berdiri. Rumah itu menghadap sungai. Di depannya ada batang terapung tempat saya kecil, cucunya, dan warga sekitarnya suka mandi dan bermain. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H