Selalu ada kenangan masa anak-anak setiap melewati beberapa kios pedagang kerajinan sepanjang kurang lebih puluhan meter di kiri kanan jalan setiap memasuki desa itu. Deretan kios itu seakan menjadi pager ayu penyambut setiap orang yang memasuki daerah itu. Ada kuda-kudaan dari kayu, seperangkat mainan dadapuran, tabungan ayam jago dari tanah liat, dan, ini khas-nya, sapu ijuk segala ukuran.
Ya, itulah pemandangan yang terlihat setiap orang yang memasuki desa Barikin, Kecamatan Haruyan, kurang lebih 145 km dari Banjarmasin, beberapa saat keluar dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan mulai memasuki wilayah Hulu Sungai Tengah. Desa seluas 4,50 km² dan hanya terdiri dari 6 RT itu mempunyai daya tarik tersendiri bagi siapa pun yang bertandang ke sana. Tidak hanya soal kreativitas barang kerajinan, tetapi juga bidang kesenian.
Ada dua hal yang membuat saya senang setiap hadir di desa itu. Pertama, bisa mengenang masa anak-anak seperti yang sebut di atas. Selalu berusaha untuk singgah di kios kerajinan itu jika memang saat perjalanan dari dan ke banua anam tidak tertidur di mobil. Sekadar membeli satu benda saja, walau tidak diperlukan tetapi bisa jadi oleh-oleh. Salah satunya sapu ijuk besar yang sampai saat ini saya sematkan di belakang pintu rumah.
Hal kedua, di Barikinlah saya dan mungkin siapa pun yang menyenangi seni budaya banua bisa bertamu dan belajar banyak dengan seorang tokoh yang luar biasa, Abdul Wahab Syarbaini, atau biasa disapa Pak Syarbai. Sosok beliau ini tak bisa dipisahkan dengan Barikin sebagai sebuah desa seni. Bahkan muncul anggapan, apa jadinya desa Barikin tanpa sosok Syarbaini. Tentu ini bukan pernyataan berlebihan.
Satu saja dulu untuk menguatkan itu adalah bahwa cikal bakal lahirnya musik Panting di banua dimulai dari tangan seorang Syarbaini. Ketika itu tahun 1969, beliau mulai mempelajari musik tradisional Bajapin dan membentuk grup japing tahun 1973 dengan alat sederhana : gitar panting, babun, dan gong. Saat itu, Japin membawakan lagu Melayu dan mengiringi tarian Japin. Tahun 1976, mulailah Japin hanya sekadar sajian musik.
Ketika ada acara resepsi di desa Barikin, tanggal 15 November 1977, musik Japin itu kembali ditampilkan Syarbaini di hadapan kawan kawannya sesama seniman saat itu, antara lain Yustan Azidin, Marsudi, Anang Ardiansyah, dan Bakhtiar Sanderta. Karena suara yang dominan bersumber dari gitar Panting, maka tercetuslah ide menamakan musik itu sebagai musik Panting. Sejak itulah, mulai desa Barikin, denting Panting menggema sampai hari ini menjadi bagian dari musik tradisi Banjar.
Terlalu banyak karya dan prestasi seorang Syarbai terhadap seni tradisi dan budaya Banjar sehingga rasanya tak ada tokoh seniman lain di banua yang bisa dibandingkan. Penerima gelar Datuk Astaprana Hikmadiraja dari Kesultanan Banjar ini baru saja pergi meninggalkan Barikin, Banua tercinta, bahkan kehidupan dunia ini, 11 Mei 2016, 3 hari setelah ulang tahunnya yang ke-61. Urang Banjar pecinta seni tradisi pasti merasa kehilangan. Lebih lebih desa Barikin.
Syarbai tak sekadar meninggalkan karya dan kenangan. Sejumlah kader, termasuk ketiga anaknya, akan meneruskan perjuangannya di jalan seni. Namun, desa Barikin haruslah memantapkan diri sebagai desa seni, desa budaya. Pemerintah Kabupaten HST harus segera menetapkan dan memolesnya. Rumah Pak Syarbai bisa dijadikan rumah budaya dan sebuah alun-alun desa bisa dinamakan “Taman Syarbaini”. Pasti siapa pun akan kembali ke Barikin untuk mengenangnya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H