Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hoax-hoax Bergembira

3 April 2017   23:56 Diperbarui: 4 April 2017   21:08 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : http://www.thatsnonsense.com

Seorang kawan akademisi mengerutu di hadapan saya. Dia takhabis pikir mengapa media massa masih suka mengabarkan berita tentang hantu atau yang diduga sebagai hantu. Ini reaksi dia gegara sebuah koran edisi daring menginfokan tentang bayangan seperti pocong pada sebuah jendela gudang yang sedang terbakar dari hasil foto petugas pemadam saat kebakaran di Banjarbaru 15 Januari 2017 lalu. Tidak mendidik!, katanya.

Saya pikir pengelola media massa pasti sudah membaca selera masyarakat pembacanya, apalagi sasaran pembacanya takterbatas. Kejadian-kejadian yang jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, baik di dunia nyata, seperti peristiwa kriminal, maupun di dunia gaib, pasti akan cepat menarik perhatian publik jika diberitakan. Isu Kuyang di Kabupaten Balangan yang menghebohkan dua minggu pertama awal tahun ini sebagai contohnya.

Hampir tiap hari media massa, terutama daring, di Banua, mengulas tentang munculnya hantu Kuyang yang awalnya terjadi di kecamatan Awayan tersebut. Bahkan, foto-foto yang diduga penampakan kuyang dipasang. Walau pun kebenaran foto itu masih diragukan karena hasil kutip mengutip dari dinding facebook, tetapi dahaga masyarakat akan cerita Kuyang itu jadi terpenuhi. Sekarang, isu itu mulai menyurut seiring takada bukti kebenaran adanya Kuyang tersebut.

Pertengahan 2016 lalu saya pernah memasang di dinding facebook sebuah foto saat Gubernur Sahbirin Noor memimpin rapat di kediaman resminya. Ada bayangan seorang berwarna putih tepat berada di belakang beliau. Pada pengantar foto itu saya tidak menyebut bayangan itu sebagai hantu, tetapi sosok misterius. Takdinyana, foto itu mendapat ratusan komentar, disebar oleh banyak netizen, dan masuk berita beberapa koran. Hampir semua komentar itu menduga sosok itu hantu.

Soal mudah percayanya, atau mudah terbawa emosinya masyarakat, terhadap berita dan isu-isu semacam itu bukanlah baru sekarang. Sejak dulu juga begitu. Di zaman belum ada internet media massa cetak telah ikut menciptakan tren itu. Saat itu muncul istilah koran kuning, koran yang isinya lebih banyak menjual berita kriminalitas dan isu-isu. Terbitlah koran khusus atau yang menyediakan halaman khusus berita kriminal. Koran itu pun laku keras.

Sekarang lebih dahsyat lagi. Berita-berita yang bukan hanya isu, tetapi juga fitnah dan hasutan bersifat provokasi, malang melintang di media daring. Media itu seakan menjadi medan perang baru yang boleh menembak siapa pun. Pelurunya bukan hanya isu politik, tetapi juga suku dan agama. Korbannya sudah banyak. Anehnya, masih ada masyarakat yang percaya  berita itu dan ikut menyebarkan. Padahal apa yang dicuatkan oleh para penjahat siber itu adalah kebohongan atau yang dikenal dengan istilah hoax.

Hoax adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan sebuah pemberitaan palsu. Palsu karena isinya dianggap tidak benar. Bisa jadi isi berita itu karena sengaja dibuat tidak benar dengan maksud menipu atau mengakali. Bisa juga karena yang meneruskan berita itu asal memuat dan tidak pernah mengecek terlebih dahulu validitas isinya. Masalahnya, pembaca atau pendengar berita itu jadi ikut-ikut percaya. Inilah yang sekarang sedang menjadi perhatian serius pemerintah.

Istilah hoax pertama muncul di kalangan netizen Amerika. Kata hoax diabadikan dari film yang berjudul “The Hoax”. Film drama Amerika produksi tahun 2006 yang disutradarai oleh Lasee Hallstrom dan skenario oleh William Wheeler ini dibuat berdasarkan buku otobiografi dengan judul yang sama oleh Clifford Irving. Film ini menjadi heboh karena banyak kejadian di dalam buku tersebut diubah dan dihilangkan. Akibatnya film ini dianggap mengandung banyak kebohongan.

Sekarang semua tergantung kita sebagai manusia. Boleh saja para pembuat hoax itu bergembira karena beritanya dibaca, tetapi jangan sampai mereka puas karena kita percaya, apalagi sampai ikut menyebarkan. Ada akal dan hati yang menjadi alat untuk menimbang. Pasti kita akan menyeleksi setiap info dengan jernih dan cerdas. Ini bukan hanya persoalan agar kita terlepas dari bahaya gibah, tetapi integritas kita sebagai manusia yang tentu berbeda dengan binatang. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun