Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gairah Micky

24 Juni 2016   08:27 Diperbarui: 24 Juni 2016   08:58 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Micky Hidayat - Foto :https://encrypted-tbn1.gstatic.com/

Saat semobil dalam perjalanan pulang dari pertemuan di pendopo Desmon J. Mahesa di Sungai Tabuk beberapa minggu lalu, saya bersama Taufik Arbain dan Imam Buchori Balangan seperti ‘mengeroyok’ Micky Hidayat, sastrawan nasional Kalimantan Selatan yang termasuk senior ini. ‘Pengeroyokan’ kami, lebih lebih saya, kepada beliau, tentu curhat seputar dinamika sastra dan satrawan di banua yang terkait dengan sosoknya.

Micky Hidayat (MH), memang satu dari sedikit lagi sastrawan angkatan 80-an daerah ini yang masih berdaya dan bertiti di jalan sastra banua. Beberapa sejawatnya, seperti Ahmad Fahrawi (1954-1990), Ajamuddin Tifani (1951-2002), Noor Aini Cahyani (1959-2003), M. Rifani Djamhari (1959-2009), Burhanuddin Soebely (1957-2012), Maman S. Tawie (1957-2014), Eko Suryadi W.S. (1959-2015), dan beberapa lagi sudah lebih dulu pergi.

Memang masih ada nama-nama seperti Tarman Effendi Tarsyad, Tajuddin Noor Ganie, Y.S. Agus Suseno, Arifin Noor Hasbi, dan beberapa lagi yang tetap eksis dan berkarya dengan gayanya masing-masing. Namun, sosok MH menjadi penting saat ini karena dianggap paling berpengaruh di antara nama yang ada. MH yang baru berusia ke-57, tanggal 4 Mei tadi, menjadi semacam sentral belukar sastra di banua.

Kalau ada yang menyebutkan bahwa sastra dan sastrawan di banua hidup bersekat-sekat dalam kelompok, itu tidak benar. Begitu juga bila ada klaim soal pengelompokkan penulis sesuai jenis karya sastranya juga tidak tepat. Di daerah ini, penulis puisi juga menulis cerpen atau novel, penulis kritik atau esai juga menulis puisi. Takada yang setia 100% hanya menulis satu jenis karya.

Bahwa masih ada satu dua kelompok sastrawan yang tampaknya setia dengan kelompoknya, ini hanyalah soal kenyamanan dalam berteman. Maklum, sastrawan sebagai seniman punya sensitivitas tersendiri. Suka baper dalam bereksistensi. Namun, terkadang risi juga melihat segelintir kawan sastrawan yang suka mojok di belakang asyik mengobrol tanpa memperhatikan sebagai apresiasi terhadap sastrawan lain yang sedang tampil di depan.

Gambaran di atas bukanlah persoalan penting bagi dunia sastra di Kalsel karena masih ada hal yang lebih bernilai untuk dijadikan isu menarik. Namun, seperti sebuah keluarga besar, sastra banua tentu memerlukan satu atau lebih sosok orang yang dituakan, baik karena kebesaran karyanya maupun karena tingkat senioritasnya. Orang-orang inilah yang menjadi rujukan, paling tidak, tempat meminta pendapat dalam menghadapi masalah.

MH-lah satu satunya, yang saya cermati, menjadi sosok itu, setelah Ajamuddin Tifani dan Burhanuddin Soebely, yang jadi tempat bersandar sebelumnya, pergi mendahului. Sebagai penyair yang disegani di tingkat nasional karena karya dan aktivitasnya, penggagas dan pendiri beberapa komunitas sastra, pengurus beberapa organisasi seni, dan peraih rekor MURI pembaca puisi terlama tahun 1997 ini sudah saatnya menyadari hal tersebut.

Di tengah luberan penulis dan karyanya yang semakin banyak dan aktivitas kegiatan sastra semakin sering, MH harus mampu berdiri di atas semua kepentingan sastra dan sastrawan di banua ini. Sekali pun situasi dunia sastra banua saat ini sangat berbeda dengan situasi saat MH masih bersama angkatannya, tetapi gairahnya sama, yaitu mampu bergerak dan menggerakan semua lapis genre dan generasi sastra daerah ini.

Seperti juga sosok-sosok sastrawan lain yang dituakan di luar banua, kita berharap MH juga terus berkarya. Tersebab dengan terus berkarya itulah, eksistensi kesastrawanan seseorang tetap diperhitungkan. Seperti yang pernah dilontarkan oleh bapak gurindam, Iberamsyah Barbary, yang menyayangkan MH tidak produktif berkarya. Gairah saja memang tidak cukup. Harus ada ekksekusi untuk mencapai nikmat sebagai sastrawan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun