Kematian ratusan karyawan perkebunan kelapa milik asing di kampung Batu Gua sangat menggemparkan penduduk.Tidak ada luka atau tanda-tanda pengeroyokan atau perkelahian. Hal ini sampai ke telinga Ulaq Bawi, seorang perempuan Dayak, kepala adat di kampung itu. Lalu dilakukanlah upacara adat untuk mengetahui penyebab kematian itu.
Sebuah ritual yang sarat dengan suasana magis dimulai. Ada alunan musik Karungut Dayak Ngaju, tarian Mandau, dan pohon kehidupan Batang Garing. Terjadi dialog, lebih tepat monolog, yang ketat antara sang Balian Ulaq Bawi dengan makhluk lain yang memasuki tubuhnya.
Paparan munculnya kesadaran untuk melawan akan ketidakadilan yang diterima penduduk atas lahan mereka selama ini tampak dalam monolog itu. Umpatan kemarahan, kekesalan, dan kesedihan menggumpal liat. Namun, tetap takbisa menjawab penyebab kematian karyawan tersebut.
Demikianlah inti cerpen “Bawin Balian” karya A. Setia Budhi, yang hadir di halaman Balairung, Banjarmasin Post, edisi Minggu, 8 Juni 2014. Cerpen ini terpilih sebagai terbaik urutan pertama dari dua puluh cerpen pilihan para redaktur sastra budaya empat media: Banjarmasin Post, Media Kalimantan, Radar Banjarmasin, dan Mata Banua.
Pemilihan cerpen terbaik dari media lokal yang memuat cerpen tiap Minggu ini bukanlah sebuah program terencana. Kegiatan ini dadakan untuk memenuhi program Aruh Sastra XI Kalsel di Tapin yang ‘mengharuskan’ adanya penerbitan antologi cerpen, di samping puisi. Hal ini menjadi menarik karena belum pernah diadakan sebelumnya di koran terbitan banua.
Tradisi pemilihan cerpen terbaik koran semacam ini sudah dimulai Kompas sejak 1992. Setiap berakhir satu tahun penerbitan edisi Minggu-nya, redaktur sastra Kompas – sejak 2005 otoritas penilaian diserahkan ke juri luar - melakukan pemilihan belasan cerpen terbaik. Selanjutnya, dibukukan, dan penulisnya diundang ke Jakarta untuk menerima hadiah.
Tradisi semacam ini tentu bagus untuk diikuti. Setiap Koran yang mempunyai halaman sastra dan budaya, melakukan pemilihan karya terbaik setiap tahunnya. Dampak bagi penulis, akan makin semangat berkarya, sedangkan bagi medianya, akan makin terpandang dan diakui mempunyai standar kualitas tertentu akan karya sastra besutannya.
Kita bisa bayangkan gempitanya penulisan karya sastra, seperti cerpen dan puisi, di media massa. Penulis pasti memanfaatkan media demikian sebagai wadah aktualisasi kesastraannya. Di samping akan menaikkan pamornya sebagai penulis berkualitas, juga akan mengelompokkan penulis tersebut pada trend sastra yang diciptakan redaktur media.
Setiap koran mempunyai kriteria tersendiri terhadap karya cerpen yang bisa diterbitkannya. Selain melihat panjang pendeknya karya, yang terkait dengan kebijakan batas kolom, juga pada sajian gaya berceritanya. Kompas, misalnya, dengan cerpennya yang hampir menghabiskan satu halaman, lebih menyukai karya realis, dengan ending yang mengejutkan.
Begitu pula pada cerpen yang hadir di Balairung Banjarmasin Post setiap Minggunya. Selain batas cerpen sekitar 1000 kata lebih lebih, redaktur juga lebih menyukai cerpen dengan kepadatan materi dan akhir yang mengejutkan. Bisa memuaskan pembaca, bisa pula tidak. Seperti yang ditunjukkan “Bawin Balian” yang telah mengukir sejarah sebagai cerpen koran terbaik di Kalimantan Selatan sepanjang tahun 2014 ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H