Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Banjarmasin Kota Seribu Langgar

9 April 2017   19:18 Diperbarui: 10 April 2017   19:00 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : http://transsulawesi.com

Sungguh sangat nyaman menjadi muslim di negeri yang mayoritas muslim seperti Indonesia ini. Jika memerlukan tempat untuk menunaikan salat akan mudah ditemukan. Cukup bertanya dengan orang di sekitar atau melempar pandangan sedikit di atas atap rumah-rumah penduduk untuk mencari ujung kubah atau menaranya. Jika juga takbertemu masjid atau musala, merapatlah ke POM Bensin atau ke pusat perbelanjaan, pasti ada tempat khusus untuk salat.

Kondisi di Kalimantan Selatan lebih-lebih lagi. Dengan penduduk muslim yang mencapai 96,67% ini makin banyak ditemukan masjid dan musala - atau lebih populer disebut langgar. Data BPS Tahun 2015 menyebutkan terdapat 2.590 masjid dan 7.587 langgar di banua dengan luas wilayah 38.744,23 km² ini. Yang terbanyak terdapat di Kabupaten Banjar dengan 350 masjid dan 1085 langgar, sedangkan yang paling sedikit Kota Banjarbaru dengan 79        masjid dan 236 langgar.

Bagaimana kota Banjarmasin sebagai ibukota? Dengan luas wilayah hanya 72 km², terkecil dibanding kota kabupaten lainnya di banua, kota ini mempunyai 201 masjid dan 791 langgar. Jumlah ini tentu di bawah Kabupaten Banjar. Namun, dengan rasio luas yang ada, maka rata-rata setiap 72,5 m² tanah di Banjarmasin berdiri sebuah masjid atau langgar. Sementara Kabupaten Banjar yang seluas 4.668 km², baru terdapat sebuah masjid atau musala di  setiap 3.252,9  m².

Tentu, ini bukan persoalan hitungan statistik semata. Namun, tampak terlihat bagaimana gairah penduduk muslim di Banua, khususnya di Banjarmasin mendirikan tempat ibadah. Sebagai tempat suci yang diyakini sebagai rumah Allah, warga bergotong royong membangunnya. Dananya bisa dari patungan warga sekitar, bisa pula dengan meminta sumbangan lepas di jalan atau sebar amplop, bisa pula sepenuhnya ditanggung oleh satu donator.

Tidak heran jika di  Banjarmasin masjid atau pun langgar ada di mana-mana. Tempat ibadah ini ada di setiap gang, di setiap RT, di setiap jalan, di setiap pasar, , bahkan di tepi sungai.  Ada masjid atau langgar dengan tampilan masih sederhana, tetapi lebih banyak yang mewah dan megah. Sangat banyak lantai dan dinding bangunannya menggunakan keramik, ruangan ber- AC, mimbar dari kayu jati, dan kubah warna warni kotak-kotak atau pun sekadar stainlesssteel.

Yang paling terasa sepuluh tahun terakhir ini adalah ramainya penggunaan pengeras suara merk TOA. Berkualitas, memang. Namun, yang terjadi  adalah semacam ‘perang suara’ antarmenara masjid. Padahal sejak 1978, Dirjen Bimas Islam menginstruksikan tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid dan langgar. Suara dibolehkan ke luar hanya saat azan dan 15 menit pengajian Al Quran sebelum waktu salat, termasuk tablik akbar bila jamaahnya meluber sampai ke halaman. Selain kegiatan itu, suaranya hanya ke dalam.

Umat jadi belajar maklum melihat gairah beribadah yang luar biasa dari nyaringnya pengeras suara semacam itu. Namun, akan lebih bijak jika itu digunakan seperlunya dengan bunyi yang terukur. Lihatlah bagaimana Masjidil Haram di Mekkah. Siapa pun yang pernah ke sana pasti merasakan kesejukan dari pengeras suara di sekeliling Kabah itu. Padahal ada 3 ribu pengeras suara digunakan. Suaranya hanya menjangkau sekitar masjid dan umat merasa nyaman mendengarnya.

Di balik banyaknya jumlah masjid dan langgar, megah dan mewah bangunannya, serta nyaringnya pengeras suara, sebagai tempat ibadah sejatinya selalu ada umat yang memakmurkannya. Paling tidak, terlihat ada jamaahnya setiap lima waktu. Apalagi bagi warga kota Banjarmasin yang sangat banyak ini. Okelah kalau hanya diisi oleh puluhan makmum karena umat terbagi pada terlalu banyak jumlah masjid dan langgar. Namun, jangan sampai langgar terkunci saat waktu zuhur dan ashar seperti yang pernah saya temukan di sebuah jalan yang ramai di kota ini.

Terlepas dari itu semua bolehlah kalau kita menambah julukan Banjarmasin yang sebelumnya kota Seribu Sungai, juga menjadi kota Seribu Langgar. Pemakaian kata ‘langgar’, selain sudah akrab, juga agar tidak sama dengan sebutan pulau Seribu Majid untuk pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat. Paling tidak ini menjadi spirit sekaligus komoditas kita sebagai umat dan warga kota. Mudah-mudahan dengan banyaknya masjid dan langgar di kota ini, kehidupan warga makin dekat dengan kehidupan spiritual. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun