Temanku yang sastrawan itu bercerita di dinding facebook-nya bahwa lama sekali dia tidak memasang bendera Merah Putih di halaman rumahnya, walau dalam rangka Agustusan. Alasannya, karena selama ini dirinya masih meragukan "apakah negeri ini telah benar-benar merdeka?". Kalau juga sekarang akhirnya membentangkan merah putih itu, semata karena memenuhi keinginan anaknya.
Sah saja setiap orang bersikap demikian. Enggan memasang bendera Merah Putih di halaman rumah saat Agustusan. Tidak bersedia hormat  bendera saat upacara atau tidak mau menirukan pembacaan teks pancasila saat dibacakan pemimpin upacara. Masih suka mengecam kepemimpinan presiden negaranya. Dan sejumlah penolakan lainnya. Ini negara demokrasi. Anda boleh bersikap apa pun.
Negeri ini awal dibentuknya memang bukan dari penerimaan atau penolakan rakyatnya, tetapi dari kesepakatan bersama untuk membebaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu, konsep kemerdekaan saat itu adalah bagaimana penjajah dapat hengkang dari tanah Indonesia dan kita punya kesempatan mengelola sendiri negeri ini. Titik. Dokumennya hanya satu : teks Proklamasi, seperti teks ijab kabul saat Anda menikah.
Adapun kehadiran bendera Merah Putih, lagu Indonesia Raya, Pancasila sebagai dasar negara, dan lambang Garuda Pancasila adalah sebuah administrasi identitas. Bahwa sebuah negara harus punya itu, mirip seperti sebuah buku nikah. Bahwa identitas itulah yang membedakan wajah Indonesia daripada negara lain. Untuk memperkuatnya, disusunlah undang-undang, peraturan, dan sejumlah dokumen lainnya.
Jadi, jika Anda tidak memasang bendera saat Agustusan, bukan berarti menolak sebuah Indonesia, apalagi sekadar meragukan apakah Indonesia sudah merdeka. Bisa jadi itu cara Anda mengotokritik. Saya katakan otokritik, karena Anda bagian dari Indonesia, bagian dari persoalan negeri ini juga. Dan "merdeka' yang dimaksud pasti bukan sekadar bebas dari penjajah secara politis dan geografis,  tetapi juga secara ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.
Kita memamg tidak bisa memilih untuk menjadi warga negara mana ketika lahir. Sama ketika lahir kita takbisa memilih harus berayah dan ibu siapa. Begitu cungul, praktis menjadi orang Indonesia. Ibu pertiwi Indonesia. Tanah, air, udara, jalan, sekolah, masjid, gedung, rumah sakit, taman, bus, terminal, kuburan, sampai septic tank  tinja kita pun Indonesia. Lantas kita diberi indentitas pada KTP, SIM, Buku Nikah, dan Paspor sebagai orang Indonesia.
Saya analogikan Indonesia itu sebagai rumah. Secara administratif, sertifikat kepemilikan sudah milik kita. Sebagai penghuni, bisa jadi kita sudah merasa nyaman karena segala kebutuhan dan fasilitas pendukung sudah lengkap. Interior dan eksterior bangunan sangat indah. Pagar rumah tinggi, dilengkapi dengan CCTV dan Satpam, sehingga menjamin tidak ada invasi tamu takdiundang. Pokoknya eksklusiflah.
Namun, bisa jadi ada satu dua penghuni yang merasa suasana rumah tidak kondusif. Entah karena takmendapat udara segar langsung dari ventilasi; sumpek karena berada dalam satu kamar penuh penghuni; merasa tidak mendapat perlakuan yang sama; atau kecewa karena merasa untuk menghidupi penghuni rumah kepala rumah tangga harus mengutang, bahkan sampai menggadaikan lahan di samping ke tetangga.
Keluarga mana sih yang dalam satu rumah bisa selalu satu pendapat. Yang beruntung bisa makan bersama saja dalam satu hari di satu meja makan belum tentu sehati. Apalagi kalau masing masing penghuninya sudah mulai sibuk dengan kepentingannya dan hitung-hitungan untung-rugi. Maka, seperti sebuah rumah, bagi Indonesia, asal jangan Anda diam-diam memotong tiang rumah saja, pasti akan dimaklumi.
Ini memang persoalan cinta. Ketika merasa mencintai, segala upaya dilakukan. Apalagi yang dicintai telah memberikan banyak kenikmatan dan kepuasan, maka takada kerjaan lain selain mengabdikan diri. Silakan bertanya apakah Indonesia sudah memberikan banyak kepada kita? Kita boleh menjawab : banyak, belum, bahkan tidak, tergantung persediaan rasa syukur yang dimiliki.
 Apalagi tuntuntan kita kepada negeri ini? Banyak! Ayo, kerja bersama. Ambil peran. Jangan seperti orang yang kegagalan cinta. Bisanya cuma bersungut. Sementara saat kita mendiskusikan nasib negeri ini sambil ngopi dan menghabis berbatang rokok, orang-orang ramai membersihkan lingkungan, membuat lawang skiping, dan memasang bendera Merah Putih. ***