Hadran. Nama ini populer di media sosial, terutama di facebook (fb), beberapa tahun terakhir ini. Hadran bukan nama pemilik salah satu akun di fb, tetapi sering sekali disebut dalam status dan komentar. Adalah Irien Agus Hairin (42), facebooker yang berdomisili di Samarinda ini, misalnya, dalam status di facebook-nya, sering menyebut nama Hadran.
Status fb, tanggal 23 Juli 2019, pukul 16.04, Irien menuliskan "Akhirnya terasai jua nang kereta bawah tanah balistrik (MRT). Maras banar abah Hadran kada suah jarrr...". Begitu juga status fb, 5 Juli, 21.55, berbunyi "Kada papa kada begandengan tangan, asal jadi bephoto gandeng dengan abah Hadran..."
Bukan hanya Irien yang sering menyebut nama Hadran. Ada banyak lagi, bahkan selain fb. Jika kita menuliskan "Hadran" di kolom pencarian Google, seperti yang saya lakukan saat menulis esai ini, maka ditemukan 129.000 tautan. Ada berupa video di Youtube, status foto di Instagram, Blog, Linkedin, koran, bahkan Jurnal.
Sudah lama saya ingin mengetahui sosok Hadran ini? Tersebab, pertama, namanya bukan dari bahasa Banjar walaupun terasa sangat akrab bagi urang Banjar. Kedua, sepengalaman pergaulan saya, belum bertemu nama urang Banjar, baik di banua Banjar, maupun di perantauan, "Hadran", kecuali kependekan nama saja. Entah yang tidak terpantau saya.
Aliman Syahrani (43), sastrawan Banjar, pernah saya tanya. Sebagai orang Kandangan, Hulu Sungai Selatan, yang sangat liat peristilahan Banjarnya, menjawab tidak tahu pasti. Namun, seingatnya, tahun 2000, saat menerbitkan Tabloid Budaya Gebrang di Kandangan, (alm) Burhanuddin Soebely (1957-2012) sudah memakai tokoh Umanya Hadran dalam tulisan-tulisannya.
Aliman juga berpendapat barangkali tokoh Umanya Hadran ini muncul untuk mengimbangi atau beriringan dengan tokoh Umanya Inur yang sering digunakan Guru Bahran dari Jamil (Bahran Jamil) dalam ceramah-ceramah beliau di tahun 1990-an. KH. Bahran Jamil adalah ulama Banua dari kota Barabai, Hulu Sungai Tengah.
Memang, paling sering penyebutan Hadran didahului kata Uma, atau mama, Umanya Hadran. Penyebutan ini mengingatkan dengan penyebutan serupa yang sering kita dengar di Kalimantan Selatan, yaitu Umanya Utuh (Banjar Hulu) atau Umanya Anang (Banjar Kuala). Penyebutan demikian sepertinya sudah mulai jarang terdengar.
Umanya Utuh atau Umanya Anang, yang lebih dahulu populer ini adalah kata pengganti untuk sebutan Uma atau mama sebagai pribadi. Seperti juga penyebutan Umanya Aluh (Banjar Hulu) atau Umanya Galuh (Banjar Kuala). Biasanya yang menggunakan penyebutan itu bisa suaminya atau tetangga.
Utuh dan Anang, untuk anak laki-laki, atau Aluh dan Galuh, untuk bini-bini, bukanlah nama sebenarnya dari anaknya Uma dalam konteks itu. Nama anaknya bisa siapa saja. Namun, sebutan nama itu tampaknya nama anak secara umum, sebagai simbol anak, dan bisa dipakai oleh siapa saja, atau keluarga mana pun. Tentunya di masyarakat Banjar.
Tampaknya, penyebutan Hadran dalam Umanya Hadran juga demikian. Penggunaannya dalam penyebutan secara teks hanya simbol yang mewakili nama anak laki-laki secara umum juga. Lantas, dari mana asal usulnya nama Hadran? Dalam Kamus Bahasa Banjar tidak ditemukan, apalagi berharap mengetahui maknanya.
Suatu hari, saya ke Balai Bahasa Kalimantan Selatan di Banjarbaru. Ibu Indrawati, salah satu peneliti di sana, mempertemukan saya dengan Pak Dede Hidayatullah. Menurut beliau, kata Hadran patut diduga berasal dari bahasa Arab, yang bermakna "hadir" atau "ada". Kami mencoba menganalisis kaitannya dengan penyebutan Umanya Hadran.