Catatan dari JNE Kopiwriting
Perubahan paradigma dunia usaha di era industri 4.0 ini menjadi setiap pelaku usaha harus menyesuaikan diri, baik dari segi pengelolaan usaha, produksi, pemasaran, sampai menyiasati persaingan. Hal yang paling perlu mendapat perhatian khusus adalah berubahnya pola dan cara belanja konsumen. Perubahan pola dan cara belanja inilah yang mempengaruhi strategi dunia usaha secara keseluruhan.
Era industri 4.0 memang menjadi sebuah tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik saat ini. Istilah ini mencakup sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi awan dan komputasi kognitif. Era ini menekankan pada pola digital economy, artificial intelligence, big data, robotic, dan sebagainya atau dikenal dengan fenomena disruptive innovation.
Disruptive innovation adalah inovasi yang menciptakan pasar baru, tetapi mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu tersebut. Inovasi ini mengembangkan produk atau layanan dengan cara yang tak diduga pasar, umumnya menciptakan jenis konsumen berbeda pada pasar yang baru dan menurunkan harga pada pasar yang lama.
Contoh dari disruptive innovation adalah munculnya e-paper. Hadirnya koran harian secara daring (online) ini mengurangi peran koran harian edisi cetak. Bahkan malah mengancam usia edar koran yang selama ini menggunakan kertas itu. Hal ini juga terjadi dengan munculnya Wikipedia, ensiklopedia edisi daring yang menggusur buku ensiklopedia cetak.
Kedua contoh kasus di atas jelas menggambarkan bagaimana disruptive innovation di era industri 4.0 ini, di satu sisi menguntungkan dan di sisi lain merugikan. Menguntungkan karena konsumen, dalam hal ini pengguna, bisa memperoleh semua itu secara mudah, bahkan gratis. Merugikan, walau tidak mutlak, bagi produsen media cetak, lambat laun gulung tikar.
Begitu pula yang terjadi dalam dunia usaha, khususnya yang menyangkut jual-beli. Prinsip jual-beli yang selama ini berlangsung secara tatap muka fisik, dalam era industri 4.0 yang sudah mewakilkan dirinya melalui jaringan internet, berubah menjadi siber-fisik. Hubungan antara penjual -- sebagai penyedia barang dan jasa, dengan pembeli -- sebagai konsumen pengguna menjadi hubungan maya melalui pasar digital.
Dampak yang timbul, tentu ada. Penjual yang dulu harus mempunyai toko atau gudang untuk meletakkan dan menyimpan barang jualannya, sekarang bukan syarat wajib. Bahkan, kebanyakan, yang terjadi, para penjual itu takpunya tempat jualan. Tokonya semata di dunia maya. Ada pun alamat yang dipublikasi hanyalah alamat tinggal penjual. Itu pun hanya admin yang tahu.
Dalam perkembangannya, toko-toko para penjual itu sudah dilebur ke dalam marketplace atau laman penjualan di dunia maya, yang dibangun dan disediakan oleh pemilik laman. Marketpalace inilah yang memajang barang dan jasa jualan tersebut, mempromosikan, melayani pemesanan para pembeli, menerima pembayaran, dan membayarkannya kepada produsen. Marketplace inilah yang memegang kendali lalu lintas bisnisnya.
Sementara konsumen, sebagai pengguna barang dan jasa, jadinya lebih dimudahkan. Dari proses pencarian dan pemesanan jenis dan harga barang dan jasa takperlu datang ke toko penyedia, tetapi bisa dilakukan hanya melalui gawai di tangan. Begitu pula proses pembayaran, takharus berupa uang tunai. Semua sudah melalui e-money antarrekening.