Anda mungkin berpikir saya ikut latah mengangkat topik soal 'tiang listrik'. Mentang-mentang benda ini mendadak populer gegara ditabrak mobil petinggi negeri ini. Tidak, saya tidak mau latah-latahan. Perkara tiang listrik menjadi trending topic setelah terlibat dalam penemuan borunan tersangka KPK, itu rezekinya tiang listrik. Atau, bakal dijadikan tersangka karena dianggap menggagalkan pelarian, itu apesnya sendiri.
Tiang listrik, gundukan bekas galian, polisi tidur, lampu pengatur lalu lintas, bak sampah yang kepenuhan, papan pengumuman, tali spanduk yang menjuntai sebelah, kucing yang beol sembarangan, atau gelandangan yang masih lelap tidur di teras toko yang masih tutup adalah pemandang keseharian kita di jalan. Terkadang takpernah diperhatikan, apalagi dibaca karena dianggap takada yang istimewa. Ya, biasa saja.
Padahal benda-benda itu diciptakan Tuhan, dengan memakai bahasa kitab suci, tentulah taksia-sia. Punya bentuk, peran, dan nasib sendiri-sendiri. Kita baru ngeh ketika benda-benda itu melibatkan diri kita. Semisal, taksengaja, sepatu mengkilap yang dikenakan menginjak kotoran kucing di jalan. Kontan keluar dari mulut kita, sesalan, sumpah serapah. Menyalahkan kucing yang dianggap takberetika atau menyalahkan kaki yang takbermata.
Tiang listrik, misalnya, juga punya bentuk, peran, dan nasib sendiri. Dari bahannya, tingginya, diameternya, jarak antara tiang, jumlah kabel yang dicantolkan, sampai kapasitas listrik yang diembankan, hampir jarang terperhatikan. Yang tampak oleh kita tiang-tiang itu di pasang di tepi jalan dan menjulang. Saking banyaknya, sampai takmenangkap kesan bahwa barisan tiang dan kabelnya sungguh takindah dipandang mata.
Ketika listrik masih langka dan hanya ada di perkotaan, maka bagi masyarakat desa, tiang listrik itu adalah benda aneh sekaligus harapan. Tiang-tiang yang diturunkan dari truk dan diletakkan di tepi jalan menjadi tontonan siang malam. Mata, hati, dan pikiran mereka menduga akan terjadi apa dengan benda kurus panjang ini. Ketika sudah ditanam, semua tangan mengelus-elus. Dan ketika listrik sudah dialirkan, mereka beranggapan inilah keajaiban tiang itu.
Tiang listrik zaman bahari, terutama di daerah Kalimantan Selatan, terbuat dari kayu ulin berbentuk balokan. Ukurannya sisinya 20 sampai 25 cm. Tingginya 10 sampai 13 meter. Saat itu, tahun 50-an, awal awal listrik mulai hadir, sampai tahun awal 80, kayu ulin masih mudah didapatkan dari hutan-hutan di Kalimantan. Sekarang, walaupun masih ada beberapa tiang listrik ulin tersisa sekalipun takdifungsikan, semuanya sudah diganti tiang beton.
Sejak dulu, tiang listrik sudah hidup berbagi. Beberapa pihak memanfaatkannya. Yang paling populer dijadikan alat untuk memberitahukan jika ada kebakaran. Bunyinya yang nyaring jika dipukul akan cepat menarik perhatian. Di komplek tempat tinggal saya, bunyi tiang listrik yang dipukul setiap satu jam saban malam adalah penanda tukang ronda hadir. Yang takkalah ramainya, tiang listrik juga dipenuhi tempelan iklan dan pengumuman.
Tiang listrik sangat diistimewakan. Kehadirannya bisa mengalahkan daun dan ranting pohon di sekitarnya. Namun, ia takbisa hidup mandiri. Ada ketergantungan sesama tiang. Tiang-tiang itu baru akan berfungsi jika dijalin dengan kabel satu sama lain. Dengan posisi tegak lurus yang semakin ke atas semakin mengecil, jika roboh, ia taksendiri. Pasti akan menarik tiang di belakangnya. Jika patah tidak bisa digunakan lagi dan harus diganti yang baru.
Hidup kita sesungguhnya seperti tiang listrik. Sebagai manusia, kita makhluk yang diistimewakan. Ketika menghadirkan manusia, Tuhan memuliakannya melebihi jin dan malaikat makhluk sebelumnya. Namun, antarmanusia itu juga punya ketergantungan. Harmonisasi hubungan ditautkan dengan kabel-kabel antartiang dan saling mengalirkan kekuatan untuk kehidupan. Dan pada setiap tianglah, terminal pengontrol dan evaluasi.
Ketika manusia menjadi penyebab celakanya manusia lainnya, mirip dengan ketika tiang listrik menjadi penyebab celakanya pihak lain. Bisa karena tiang itu ditanam terlalu ke tengah jalan, bisa pula karena pihak yang celaka itu mengabaikan posisi tiang itu. Namun, tetaplah bijak menyikapinya. Belajarlah dari Nabi Ibrahim. Ketika sakit dan mohon penyembuhan Tuhan, dia tidak berkata "dan apabila Dia memberi aku sakit", tetapi "dan apabila aku sakit!" ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI