"Napa jar, ibukuta Jakarta cagar bapindah ka Banuakah?"
"Kadanya Jakarta nang pindah, ibukutanya."
"Bagus jua mun ibukuta Indonesia pindah ka Banua."
"Napa nang bagus. Mamauki. Maurusi sual di Banua aja kada sing tuntungan."
"Tapi banyak pambangunan kaina."
"Cah, urang Jakatra jua ai nang cagar manggawinya, Urang kita manuntun haja!"
***
Itu sekelumit pandiran di warung pagi kemarin (Sabtu, 15/7) saat saya mawarung di Pasar Lama, usai jalan pagi. Rupanya wacana rencana pemindahan ibukota negeri ini dari Jakarta ke Kalimantan sudah menjadi trending topic di masyarakat banua. Dan mereka mencoba menyuarakan isi hatinya sesuai kacamatanya sebagai rakyat. Pro dan kontra, tentu, tetapi masing-masing punya alasan sendiri.
Sebagai urang Banua, saya tentu menyambut positif rencana ini. Diplomatis, memang. Niat besar pemimpin negeri ini untuk memberi kesempatan kepada tanah Kalimantan menjadi ibukota patut diapresiasi. Tentu mata pemimpin itu melihat bahwa ada potensi besar salah satu kota dari salah satu provinsi dari pulau seluas 743.330 km2Â ini menjadi ibunya kota-kota di Nusantara. Dan ini tantangan bagi kita.
Memang ini masih wacana. Sejak digulirkan Pak Jokowi, bolanya sempat ke sana ke mari, walau akhirnya mengarah ke Kalimantan. Dan Kalimantan yang dimaksud juga belum dipilih, sekali pun Soekarno, tahun 1950, pernah menyebut Palangka Raya, Kalimantan Tengah, sebagai bakal ibukota. Yang belum jelas adalah apakah pemindahan ibukota ini pusat pemerintahannya atau sekaligus pusat bisnisnya.
Ada beberapa negara yang memisahkan pusat pemerintahan dan pusat bisnisnya. Amerika Serikat, misalnya, pusat pemerintahan di Washington D.C., pusat bisnis di New York. Jepang, memindahkan pusat pemerintahannya dari Kyoto ke Tokyo. Australia dari Sidney ke Canberra. Jerman dari Bonn ke Berlin. Brasil hijrah dari Rio de Jeneiro ke Brasilia. Dan Malaysia memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya.