Beberapa hari lalu, seorang kawan praktisi televisi lokal meneleponku. Ketika itu dia usai meliput perayaan Kartini yang diselenggarakan sebuah lembaga pemerintah. Dia mengeluhkan tentang perayaan peringatan Hari Kartini yang begitu-begitu saja: tampil berkebaya, lomba busana, dan lomba membaca surat-surat Kartini. “Tidak ada kegiatan yang terkait dengan subtansi perjuangan Kartini,” katanya, “kesannya sekadar meramaikan.”
Begitulah sementara ini, masyarakat Indonesia, terutama perempuan, mengaplikasi Peringatan Hari Kartini. Kartini diadopsi kebanyakan secara fisik. Sedikit yang mengadopsi pikirannya. Yang diperlihatkan kemudian, berpakaian kebaya putih dengan bordir di pinggirnya, bersarung batik, dan bersanggul. Belakangan, di era jilbab, sanggul sudah diganti dengan tutup kepala sampai leher. Sementara pria, berpakaian batik plus blangkon kalau di Jawa.
Pemandangan semacam itu sudah sejak dulu, jauh sebelum pemerintah mulai menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini di Tahun 1964. Sebuah foto di facebook yang diunggah oleh Wajidi Amberi, peneliti di Balitbangda Kalsel, menggambarkan foto bersama Kerukunan Keputrian Parindra Banjarmasin dengan latar foto R.A. Kartini. Diperkirakan usai perayaan Hari Kartini, sekitar tahun 1930-an. Hampir semua perempuan di foto itu mengenakan kebaya dan bersanggul.
Tidak salah kalau sebagaian masyarakat menyambut perayaan Hari Kartini demikian gempita, sekali pun masih sekadar seremoni. Bagi kaum perempuan, sosok Kartini dianggap sebagai pelopor sekaligus model pembaharuan bagi kaumnya. Terminologi emansipasi yang dimunculkan Kartini dalam suratnya kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899, seakan menjadi sebuah angin sorga kaum perempuan Indonesia. Kartini dianggap memicu kaumnya untuk ‘ex manus capere’ atau lepas dari belenggu.
Kartini menjadi perempuan luar biasa bagi negeri ini. Apalagi sejak pemerintah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional, 2 Mei 1964. Penetapan ini tentu punya alasan kuat. Tidak banyak Pahlawan yang bernasib seperti Kartini. Pahlawan yang tangannya bersih dari mesiu dan percikan darah, yang selalu berpenampilan anggun dan harum, serta hidup dengan fasilitas lengkap. Maklum, Kartini lahir dan hidup di kalangan bangsawan Jawa, seorang Raden Ajeng, putri dari Bupati Jepara.
Sampai saat ini, masih ada orang yang meragukan ‘kepahlawanan’ Kartini. Konsep pahlawan yang masih tertanam kuat adalah pada perjuangan bersenjata, perjuangan politik, atau perjuangan bidang lain, dalam menentang kolonialisme dan imperialisme, sejak mencapai kemerdekaan sampai mempertahankannya. Dan yang dianggap kolonial dan imperialis pada masa itu hanya satu : Belanda. Sementara, Kartini yang hidup antara 1879 – 1904 sangat mesra dengan bangsa penjajah itu di samping karena kondisi perpolitikan kaum priayi saat itu.
Kartini sangat di’manja’kan oleh pemerintah saat itu. Bukan hanya gelar kepahlawanannya, melainkan juga penetapan hari lahir dan namanya sebagai hari khusus perempuan Indonesia. Padahal masih banyak tokoh pejuang dan pergerakan wanita lainnya yang tak kalah hebatnya, bahkan lebih. Sedikit yang disematkan sebagai Pahlawan, lebih banyak yang belum, dan takada satu pun yang hari lahir atau namanya dijadikan hari khusus. Sebutlah beberapa, seperti Keumalahayati, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Rohana Kudus, Maria Walanda Maramis, atau Ratu Zaleha
Apa yang membuat Kartini diagungkan, sementara sejak umur 12 tahun sampai akhir hayatnya di usia 25 tahun hidup dalam pingitan? Kartini menuliskan pikiran-pikirannya ke dalam surat dan mengirimkannya kepada J.H. Abendanon Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dan teman-teman lainnya di Eropa saat itu. Tulisannya berupa pemikiran-pemikiran cerdas dan brilian seorang perempuan Jawa tentang pendidikan, agama, bangsa, dan khususnya tentang kaumnya, yang dianggap melampaui batas waktu.
Indonesia dan dunia mulai sadar bagaimana peran Kartini setelah surat-suratnya itu dikumpulkan dalam buku Door Duisternis tot Licht, dan diterbitkan tahun 1911, 7 tahun setelah wafatnya. Barangkali, Kartini akan tenggelam dalam manisnya kehidupan keraton kalau dia tidak menuliskannya. Benar apa yang dikatakan sastrawan Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) bahwa “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H