Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

God Bless You

6 April 2017   22:19 Diperbarui: 7 April 2017   06:00 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : https://stream.org

Words can change your world”,  kata-kata dapat mengubah kehidupan Anda. Demikian kalimat yang saya sunting dari “How Your Words Can Change Your World”, judul buku karya Eugenio Isabelo Tomas Reyes Sanchez Jr., atau lebih dikenal dengan Bo Sanchez, penulis, pengusaha, dan rohaniwan di Filipina. Saya tidak membahas isi buku motivasi tersebut. Namun, coba mengelaborasi kalimat serupa adagium pada judul buku itu dalam kehidupan kekinian.

Kata-kata dapat mengubah kehidupan, itu sejak dulu, sejak manusia pertama kali diciptakan. Ketika Tuhan mulai menciptakan Nabi Adam dan dikenalkan nama benda-benda kepadanya, seperti yang disebutkan dalam Surah Al Baqarah ayat 31, maka sejak itulah hadir kata-kata. Sejak itulah Adam dan keturunannya menjadi makhluk paling beruntung, melebihi malaikat, karena diberi kemampuan untuk menguasai kata-kata serta diamanati untuk mengelola kata-kata itu untuk dunia dan seisinya.

Namun, kekuasaan manusia atas kata-kata itu juga yang membuat manusia akhirnya bergerak antara kata dan makna dan antara kata dan kepentingan. Maka, hadirlah ahli kata-kata untuk menyelamatkan manusia dan juga mencelakakan manusia lainnya. Kata-kata dalam kitab suci, dalam hadis, dalam undang-undang, dalam peraturan-peraturan, dalam fatwa, dalam pengumuman, bahkan dalam mimpi dan igauan ditelisik maknanya dan ditafsirkan.

Para ahli kata itu, sendiri-sendiri maupun bersekutu, menggeluti kata-kata itu untuk melahirkan tafsiran maknanya, bahkan menciptakan kata-kata baru. Mereka bekerja sebagian atas sumpah dan jabatannya, atas nama kepentingan, dan atas nama yang tidak jelas. Masyarakat memang memerlukan peran mereka untuk kelangsungan hidup. Tidak heran, untuk saling mempertahankan hidup itu, antarkelompok masyarakat bisa saling bentur karena punya tafsiran berbeda atas kata yang dipersoalkan.

Lihatlah bagaimana dalam sebuah agama bisa muncul lebih dari satu aliran karena perbedaan tafsir atas kata-kata dalam kitab suci yang sama. Begitu juga dalam perkara di pengadilan untuk kasus yang sama bisa menghasilkan putusan dan nasib berbeda atas terdakwa karena perbedaan hakim menafsirkan undang-undang. Yang lebih menggiris adalah ketika sekelompok masyarakat tidak mau mematuhi aturan yang ditetapkan oleh pempimpinnya hanya karena merasa tidak sependapat dengan tafsiran yang mendasari aturan itu.

Apakah kata-kata yang mengatur manusia atau sebaliknya? Kenyataan dalam ilmu bahasa muncul semantik, ilmu tentang makna kata dan kalimat, seluk beluk, dan pergeseran arti kata. Tentu ilmu itu hadir dari penelitian dan pengalaman komprehensif dan sangat lama para ahli bahasa. Dari sinilah saya mencermati bahwa manusia, sengaja atau pun tidak, sudah mengklasifikasikan kata, mengkastakan kata, bahkan menjajah kebebasan kata untuk beragam kepentingan. Tentu untuk kepentingan manusia atas nama keteraturan.

Contoh sederhana, untuk kata bermakna ‘ajal’ saja ternyata tidak kepada sembarang orang boleh disematkan. Kata ‘mangkat’, misalnya hanya disematkan kepada raja dan putra mahkota; ‘wafat’ untuk pejabat dan orang ternama; dan ‘gugur’ untuk pejuang. Lantas, rakyat biasa bahkan jelata? Boleh pilih: ‘meninggal’, ‘mati’, ‘tewas’, atau ‘modar’. Hal yang sama untuk kata ‘pegawai’, karyawan’, ‘buruh’, ’pembantu’, dan ‘babu’; serta ribuan kata lainnya. Belum lagi dengan pandainya manusia bereufimisme agar kata terdengar lebih santun, seperti ‘kenaikan harga’ disebut ‘penyesuaian harga’.

Menyedihkan ketika  sekelompok orang di negeri ini mengkafirkan orang yang seagama dengannya hanya karena menggunakan kata yang dianggap taksatu sumber ajaran. Kasus ucapan ‘god bless you’ atau ‘Tuhan memberkati Anda’ yang bersumber dari Alkitab Ibrani orang Yahudi, misalnya, tiba-tiba mencuat lagi gegara tertulis di moncong pesawat Raja Salman dari Arab Saudi. Padahal tanpa disadari, ada juga kata ‘Tuhan’ hasil efentesis dari kata ‘tuan’ yang bersumber dari Alkitab. Begitu pula kata ‘sembahyang’ justru dari agama Hindu ‘sembah Hyang’ yang artinya menyembah dewa.

Sampai kapan manusia dipenjara oleh kata-kata? Padahal melalui manusialah Tuhan menyerahkankan pengelolaan kata-kata itu. Jika hanya karena perbedaan penggunaan dan penafsiran kata saja kita harus saling menjatuhkan, lantas buat apa kita menyanggupi sebagai manusia. Mulailah untuk mengelola kata dengan menggunakan nalar dan hati, tersebab makna kata hadir karena nalar dan perbedaan tafsir itu didinginkan oleh hati. Mari jadikan kata sebagai berkah dan bukan penyebab musibah. God bless you! ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun