Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuan Guru

18 Maret 2017   20:06 Diperbarui: 29 Maret 2017   05:00 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun dan Kiai Kanjeng akan hadir di Banjarmasin akhir September 2016 lalu, ada sedikit pertanyaan tentang apa dan siapa ‘Kiai Kanjeng’ yang akan menyertai pementasanya. Bahkan ketika akan membuat poster kegiatan itu, seorang karyawan Pemko Banjarmasin yang menangani soal itu menanyakan mana foto Kiai Kanjengnya. Dalam anggapan mereka, Kiai Kanjeng adalah sosok seseorang.

Anggapan ‘Kiai’ sebagai gelar seseorang yang dihormati bagi orang Banjar adalah wajar. Pada zaman Hindia Belanda, ‘kiai’ adalah nama jabatan menteri pada Kerajaan Banjar, atau setingkat Wedana. Pemerintah Belanda lalu mengalihkan nama itu untuk jabatan kepala distrik wilayah Kalimantan. Pada awal-awal perang Banjar (1859-1905), misalnya, dikenal nama Kiai Adipati Anom dan Kiai Langlang sebagai pendukung perjuangan Pangeran Antasari.

Konsep ‘kiai’ yang tertera dalam sejarah Banjar itu tampaknya mulai dilupakan. Orang Banjar lebih mengenal istilah ‘kiai’ sebagai padanan kata ‘syekh’ dalam bahasa Arab, sebutan bagi ‘alim ulama’ atau orang yang alim atau pandai dalam ilmu agama. Kepandaiannya disebutkan sebagai man balagha sinnal arbain, memiliki kemampuan berceramah atau mengobati orang lain. Sosoknya diidentifikasi sebagai orang tua, bersorban, berjanggung, dan tangannya memetik tasbih.

Lantas siapakah ‘Kiai Kanjeng’ dalam konteks Cak Nun dan Kiai Kanjeng? ‘Kiai’ dalam hal ini mengikuti konsep masyarakat Jawa, yang berasal dari kata ikiae (iki ae = ini saja) dengan makna lebih luas, yaitu sebutan untuk sesuatu yang dituakan dan dihormati (untuk manusia) ditambah dianggap bertuah (untuk benda). Tak heran kalau di Jawa, sebutan ‘kiai’ bukan hanya untuk ulama, tetapi juga benda seperti keris, kereta, dan gamelan. Jadi, ‘Kiai Kanjeng’ adalah nama seperangkat gamelan yang biasa dimainkan mengiringi pentas Cak Nun.

Terus terang ada perasaan tidak nyaman ketika istilah ‘kiai’ yang bagi orang Banjar sangat eksklusif penggunaannya hanya untuk sosok ulama, ternyata digunakan oleh saudara saudara di Pulau Jawa lebih dari itu, yaitu jugauntuk penyebutan benda-benda yang dihormati karena dianggap bertuah. Ketidaknyamanan ini ternyata juga dirasakan oleh Sultan Haji Khairul Saleh Al Mu’tashim Billah, dari Kesultanan Banjar.

Saat memberikan petuah pada peringatan Milad ke-512 Kesultanan Banjar di Masjid Sultan Suriasyah, Sultan Khairul Saleh mengutarakankan ketidaknyamannya atas sebutan ‘kiai’ itu ketika menyampaikan akan memberikan gelar “Tuan Guru Besar” kepada Kiai H. Husin Nafarin. Sultan menganggap, sebagai orang Banjar, selayaknya tak menggunakan istilah ‘kiai’ kepada seorang ulama besar semacam Husin Nafarin.  Sultan meminta, lebih tepat mendeklarasikan, mulai hari Milad ini digunakan sebutan ‘Tuan Guru’.

Pemopuleran lagi istilah ‘Tuan Guru’ sebagai pengganti sebutan ‘Kiai’ bagi orang Banjar memang perlu waktu. Bahkan, perlu sedikit diskusi apakah orang Banjar memang akrab dengan sebutan itu. Istilah ‘Tuan Guru’ diakui lebih akrab kepada masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat. ‘Tuan Guru’ dianggap lebih spesifik dibanding ‘kiai’. ‘Kiai’ bersifat umum, bisa memimpin salat dan zikir, memandikan mayat, mengobati orang sakit. Sementara, ‘Tuan Guru’ untuk ulama yang pernah naik haji, berdakwah, memiliki banyak jamaah, dan memimpin pesantren.

Konsep ‘Tuan Guru’ pada masyarakat Lombok itu juga sama dengan konsep pada orang Banjar. Dalam sejarah, hampir semua ulama Banjar pernah naik haji. Bahkan, menuntun ilmu cukup lama di Mekkah. Dan sepulangnya dari tanah suci, sebagian dari mereka mendirikan pesantren atau ikut mengajar di pesantren.  Beberapa ulama di Martapura, akrab dengan sebutan itu. Sebut saja Tuan Guru Syeikh Salman al-Farisi atau Datu Gadung, Tuan Guru KH. Husein Qadri Al-Banjari, dan Tuan Guru Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Guru Sekumpul.

Apa yang dianjurkan oleh Sultan Khairul Saleh agar orang Banjar mulai kembali menggunakan penyebutan ‘Tuan Guru’ tentu harus dianggap sebagai titah yang sejuk untuk kebaikan bersama. Tanpa harus alergi dengan sebutan ‘Kiai’, makna ‘Tuan Guru’ tampaknya lebih khususan. Tak semua orang berilmu layak disebut Tuan Guru. Termasuk saya yang walaupun pernah jadi guru lebih 21 tahun, tetapi bukan guru agama, belum biasa bersorban, belum berjenggot, belum naik haji, belum punya jamaah, apalagi punya pesantren. Terimakasih Sultan yang telah mengingatkan ini! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun