Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang ‘Pembaptis’ itu Mengakhiri Hidupnya

25 Agustus 2016   19:38 Diperbarui: 25 Agustus 2016   19:48 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah bangunan berlantai 2 di jalan Galur Sari II, No. 54, Utan Kayu Selatan, Jakarta itu lebih seperti rumah layaknya daripada kantor. Apalagi letaknya memang di wilayah perumahan yang mempunyai akses jalan berliku yang takbisa dilalui mobil berselisih. Untuk menuju ke sana bisa mengawali dari Jalan Pramuka masuk ke Utan Kayu atau Kayu Manis. Itu pun harus banyak tanya untuk bisa sampai.

Di lantai atas bangunan, ada ruang rapat redaksi, ruang olahraga, dan kamar tempat inap sastrawan. Lantai bawah ada ruang tamu yang di dindingnya terpasang foto-foto sastrawan Indonesia masa ke masa, serta dua kamar untuk ruang kerja dan ruang istirahat, serta garasi yang sekaligus sebagai tempat menumpuk majalah dan bagian sirkulasi bekerja. Dari ruang-ruang inilah sebuah majalah sastra tertua Indonesia sejak zaman Orde Baru, Horison,  pernah lama diolah dan diterbitkan.

Namun, tepat setengah abad usianya, 26 Juli 2016, majalah sastra terbesar di negeri ini telah menyatakan diri  berhenti terbit. Ini memang kabar menyedihkan walaupun juga bukan kabar yang mengagetkan. Pada masanya, majalah yang melahirkan banyak penyair, cerpenis, esais, kritikus, dan budayawan besar negeri ini, sangat disegani karena menjadi tolak ukur perkembangan dan peradaban sastra Indonesia.

Ada banyak faktor tentu yang membuat majalah ini harus mengakhiri hidupnya. Salah satunya adalah mahalnya ongkos produksi yang takseimbang dengan lakunya. Apalagi daya beli masyarakat, khususnya sastrawan dan budayawan terhadap majalah yang khususan ini sangat-sangat rendah. Nasib majalah ini takbeda jauh dengan majalah dan media cetak lainnya pada umumnya yang sudah mulai sekarat dan tiarap di tengah gempuran dunia digital.

Nasib Horison memang turun naik seperti cahaya kaki langit yang amat jauh, yang terkadang jelas, terkadang samar. Horison edisi perdana yang terbit Juli 1966 langsung dicetak 15.000 eksemplar. Dalam perjalanannya sampai jelang akhir hayat, tiras Horison kembang kempis. Majalah ini pernah kembali capai tiras sampai 12.000 eksemplar sekitar 2000 s.d. 2010, ketika mendapat suntikan dana dari pihak lain sehingga bisa dibagi ke sekolah menengah seluruh Indonesia secara gratis.

Oleh pendirinya, Mochtar Lubis, P.K. Ojong, Arief Budiman, Zaini, dan Taufiq Ismail, Horison lahir dari idealisme budaya dan kerinduan akan majalah sastra yang bermutu. Mochtar Lubis menulis pada pengantar edisi perdana, “Bersama ini kami perkenalkan kepada Saudara pembaca yang budiman, majalah kami Horison, sebuah majalah sastra yang memuat cerita-cerita pendek, sajak-sajak,esei, dan kritik, yang kami harap akan cukup bermutu untuk seterusnya dapat memikat perhatian dan kasih sayang Saudara pada majalah ini. ...”

Majalah sastra ini memang benar-benar memikat publik sastra Indonesia, khususnya para sastrawan. Karya-karya sastra penulis Indonesia hadir rutin setiap bulan. Para redaksi Horison sejak dipimpin Mochtar Lubis  sampai Jamal D. Rahman betul-betul harus menyeleksi untuk menjaga mutu karya sastra yang dimuat. Sastrawan yang karyanya berhasil masuk Horison tentu punya gengsi tersendiri. Muncul  anggapan bahwa Horison jadi sebagai majalah ‘pembaptis’ barometer kualitas dan kesastrawanan seseorang.

Menurut Tajuddin Noor Ganie, sejumlah sastrawan Banua sempat dimuat di majalah ini, baik berupa puisi, cerpen, esai, dan kritik. Yang sempat tercatat adalah Hijaz Yamani, Ajamuddin Tifani, Ahmad Fahrawi, Maman S. Tawie, M. Rifani Djamhari, Micky Hidayat, Tarman Effendi Tarsyad, Jamal T. Suryanata, dan Zulfaisal Putera. Khusus Hijaz Yamani dan Ajamuddin Tifani, sempat diulas lengkap biografi dan karya-karyanya.

Horison edisi cetak memang sudah mengakhir hidupnya. Kantor majalah itu tentu akan senyap tanpa aktivitas redaksi. Keriuhan Horison berpindah ke dunia maya karena sebagai penggantinya edisi daring pun diluncurkan dengan Pemred Sastri Sunarti. Bagaimana pun juga pasti berbeda nilai rasa edisi daring dibanding cetak tersebab sudah banyak situs sastra senada yang sudah lebih dulu hadir dan diakui kelayakan kualitas karya yang ditampilkan. Sekarang nasibnya pun tergantung kepada sastrawan yang ‘melek’ internet. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun