Saat lebaran Idul Fitri sepuluh hari lalu, seorang teman yang silaturahmi di rumah saya tanpa basa basi meminta disuguhi segelas kopi. Apakah karena dia tahu saya termasuk penggemar kopi dan punya sedikit koleksi bubuk kopi maka dia meminta itu ataukah ingin merasakan rasa berbeda saat lebaran. Namun, menjadi menarik karena selama ini kopi bukan termasuk salah satu suguhan minuman saat lebaran.
Suguhan berlebaran cenderung manis dan kebanyakan minuman bersoda. Itu yang saya temui jika juga berlebaran ke rumah tetangga, keluarga, atau teman. Minumancolaatau jenis bersoda lainnya, juga sirop warna warni, dan teh adalah beberapa. Dan kebanyakan pakai es. Memang menyegarkan dan menyenangkan. Apalagi bagi anak-anak yang biasanya diajak orang tuanya.
Penganan lebaran lebih asyik lagi. Kue, misalnya, dari kue kaleng, toples, bolu, dan kacang, yang rasanya nano nano: manis, asem, asin. Makanannya dahsyat lagi. Orang Banjar biasanya menyuguhkan soto, lontong, dan buras. Ikannya daging, ayam, dan telur dengan bumbu masak merah dan karih. Hampir semua berkuah santan, lemak, dan legit. Jika selama lebaran bersilaturahmi ke banyak rumah dan disuguhi demikian, bayangkan ‘buntau’nya.
Lebaran Idul Fitri yang cuma dua hari itu seakan letupan dari ‘puasa’ siang hari selama sebulan penuh. Walaupun menu berbuka saat Ramadan juga didominasi minuman dingin warna warni dan makanan dahsyat seperti itu, tetapi tentu waktunya terbatas. Apalagi menu makanan sahur yang disantap sambil menahan kantuk. Maka hari raya yang ‘membebaskan’ itu menjadi ajang balas dendam.
Saya jadi teringat dengan cerita kawan yang merasa kelebihan berat badan. Ketika bertimbang sebelum Ramadan beratnya 80 kg. Padahal dengan tinggi badan 170 idealnya hanya 70 kg. Dia berniat bulan puasa akan menurunkan berat itu dengan asumsi makan cuma dua kali sehari. Dia terkejut ketika tengah Ramadan timbangan justru naik 2 kg. Bisa dibayangkan bagaimana kalau dia timbang setelah hari raya.
Jika menurut Rasulullah puasa sepanjang Ramadan benar kita lakukan sesuai anjuran maka niscaya akan menyehatkan, maka mestinya hari raya juga akan menyehatkan jika dihadapi dan dirayakan dengan bersahaja. Namun, yang terjadi, pascalebaran puskesmas dan rumah sakit dipenuh pasien dengan keluhan yang sama: sakit pencernaan, demam, serta kolesterol, gula darah, dan tensi yang naik. Apalagi soal berat badan.
Inilah yang disebut dengan bagian dari ‘panic eating’. Salah satunya, sikap kalap menghadapi beragam makanan ketika disuguhkan bersamaan. Maka, entah karena ingin mencicip semua atau tidak nyaman dengan desakan tuan rumah yang minta semua sajian dirasakan, setiap jenis sajian pun dimakan tanpa memikirkan bagaimana sibuknya mulut dan kagetnya perut. Risikonya, ya, seperti dikeluhkan pasien yang ke rumah sakit pascalebaran.
Barangkali ‘balas dendam’ kita terhadap makanan di hari lebaran pasca-Ramadan menjadi cermin apakah puasa dan peribadatan lainnya selama bulan suci sudah dilakukan secara bersahaja. Puasa bukanlah seperti menyimpan api dalam sekam yang meruntuhkan segalanya ketika hari raya. Tentu ini preseden buruk bagi hikmah puasa kita. Ini bukan sekadar ritual, tetapi prilaku mengelola diri sendiri.
Kembali ke soal keinginan teman yang minta disuguhi kopi tadi? Saya tawarkan kepadanya suguhan kopi Spiderman? Teman saya sumringah dan berminat. “Kopi impor, ya?”. Tidak. Ini kopi Banjar asli dan sudah jarang dijual dan disuguhkan. Orang Banjar generasi 70 s.d. 90-an tentu masih ingat kopi satu ini : Kopi cap Laba-Laba. Kopi ini sudah berpuluh tahun menjalin tali silaturahmi orang Banjar, terutama di hari raya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H