Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wajik Bagula

21 Juni 2016   07:20 Diperbarui: 21 Juni 2016   08:24 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia punya kecenderungan sebagai makhluk penimbang dan makhluk pembanding. Pengalaman melihat dan merasakan sebuah objek pada dua tempat atau lebih sering memunculkan penilaian tersendiri. Penilaian lebih kurang itulah yang menyebabkan lahir perbandingan. Seringkali perbandingan itu cenderung melebihkan nilai pada objek dimiliki orang lain daripada objek yang dimiliki sendiri. Hal ini sepertinya sudah membudaya.

Pernah suatu hari saya bepergian dengan beberapa teman ke sebuah kota. Di dalam bis ada seorang ibu muda yang mulutnya takberhenti berkicau. Melihat jalan yang mulus, dia menyatakan jalan tersebut lebih baik dari jalan di kotanya. Menatap taman-taman yang tertata indah, dia sebut bahwa kota asalnya takpunya taman seindah itu. Bahkan, sopir bis yang tak merokok pun dia puji dan dikomentari bahwa sopir taksi di kotanya haur lipus lipus.

Terkadang kesal juga menemukan manusia semacam itu yang seakan rumput di halamannya sendiri selalu jelek bila dibandingkan rumput tetangga. Namun, kenyataannya orang-orang semacam ini ternyata sangat banyak dan mudah ditemukan di sekitar kita. Jika dipikir-pikir, kalau banyak orang semacam ini, bisa jadi benar juga penilaiannya, terlepas dari objektivitas indikator yang digunakannya.

Diakui atau tidak, sebagai orang Banua yang sudah sakaturunan tinggal dan merasakan tanah banyu Kalimantan Selatan ini pasti sudah tahu bagaimana plus minus daerahnya. Kondisi geografis dan penduduknya, pembangunan sarana dan prasarananya, tata kelola pemerintahannya, sosial ekonominya, sampai sistem budaya dan kearifan lokalnya, adalah hal-hal yang bisa dijadikan ukuran dalam menilai. Rasanya, ya beginilah adanya.

Tak semua hal tersebut bisa dibandingkan. Kondisi jalan raya, misalnya, tentu dipengaruhi oleh kondisi tanah dan beban yang melewatinya. Jalan yang dibangun di Jawa yang struktur tanahnya keras akan berbeda daya tahannya dengan jalan di tanah berawa seperti di Banua. Apalagi bicara sistem budaya yang tiap daerah memiliki karakteristik tersendiri, naif sekali bila kita menilai sistem budaya daerah lain lebih baik daripada daerah kita.

Kalau ada yang menyebutkan bahwa rata-rata orang Banjar ‘pemalas’ dibandingkan suku lain, saya tidak sependapat. Lingkungan tinggal suatu suku mempengaruhi bagaimana perjuangan hidupnya. Orang Banjar dimanjakan oleh alamnya. Tinggal di rumah berpanggung, depan sungai, belakang sawah dan kebun. Segalanya tersedia, tinggal jalan beberapa langkah. Ini bukan malas, tapi sudah rezekinya. Sementara, di pulau Jawa, untuk mendapatkan air saja harus menggali berpuluh puluh meter.

Masalahnya, pada sebagian orang sudah tertanam anggapan ampun urang biasanya lebih baik daripada ampun saurang. Akibatnya muncul sinisme ketika menyaksikan atau menikmati produk sendiri. Dan ini terjadi tidak hanya membandingkan antara banua dengan luar daerah, tetapi juga terjadi antara kabupaten di banua dengan kota Banjarmasin. “Han, bagusnya Banjar liati. Kada nang kaya kampung kita”, celetuk salah satu teman dari hulu sungai.

Namun, prilaku ini bisa jadi bagian dari strategi menyenangkan tuan rumah, jika, misalnya, berkunjung ke kota orang. Maka yang muncul adalah pujian salanjung karena menyaksikan fasilitas dan mendapatkan pelayanan yang lebih. Sah-sah saja, asal jangan mahinyik daerah sendiri. Apalagi seperti candaan temanku ini, “kenapalah malihat bini urang pina bungas, imbah bini saurang kaya wajik!”. “Hus, kada bulih kaya itu”, kataku. “Sttttt, tapi wajiknya bagula pang!” tukasnya. ***

* wajik bagula (bahasa Banjar) : wajik diberi gula atau wajik yang rasanya manis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun