Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Save Haruan

16 Juni 2016   22:28 Diperbarui: 16 Juni 2016   22:39 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
iwak haruan (ikan gabus) sebagai lauk utama makanan Ketupat Kandangan - Foto dokumen pribadi Zf

Sebulan terakhir, saya sangat sulit bertemu ikan haruan alias gabus sebagai lauk nasi kuning, lontong, atau Katupat kandangan, di warung warung nasi langganan. “Sebenarnya persediaan ikan itu ada”, kata penjualnya, “tapi hanya sedikit”. Kalau datang telat, pasti habis. Atau, Cuma kebagian kepala dan buntut. Tentu, tak penuh nikmatnya.

Sebelumnya hanya dengar cerita istri yang pulang dari belanja bahwa ikan haruan lagi kosong di pasar. Belakangan dari berita di koran dan TVRI lokal tersiar kabar bahwa harga ikan haruan di Banua sudah sangat mahal, mencapai Rp75.000 s.d. Rp80.000 / kg untuk ukuran sedang dan harga Rp100.000 s.d. Rp125.000 / kg untuk ukuran besar. Fantastis.

Baru tahu harga ikan haruan sudah lebih mahal dari daging, apalagi dibanding ayam. Konon setiap tahun, harga ikan ini bisa melonjak setinggi itu pada waktu tertentu. Hal ini bukan hanya terjadi di Kalsel, tetapi juga di Kaltim dan Kalteng. Bahkan, percaya atau tidak, mahalnya ikan haruan signifikan mempengaruhi inflasi di Kalsel, menurut Harymurthy Gunawan, Kepala Kantor Perwakilan BI Kalsel.

Urang Banua memang sangat menyukai ikan haruan (channa striata) sebagai lauk khas makanan keseharian. Ikan ini mempunyai tekstur daging sangat lezat, dimasak dengan cara basanga (goreng) atau pun baubar(bakar). Kadar proteinnya lebih tinggi daripada telur, daging ayam, dan daging sapi. Bahkan albumin dan asam amino yang dikandungnya dapat mempercepat penyembuhan luka dalam.

Mengapa di daerah yang memiliki banyak rawa-rawa, danau, dan sungai berarus tenang ini mengalami kelangkaan ikan haruan. Padahal haruan yang di luar negeri disebut snake fish ini termasuk ikan predator yang gampang cari mangsa. Haruan juga pandai menyesuaikan diri untuk hidup, sehingga jangan heran menemukan haruanbajalanan di darat mencari tempat berair ketika musim kemarau.

Saya sempat berpikiran apa salah satu penyebabnya karena ulah pedagang samu, ikan yang ditabur beras yang disangrai bercampur garam. Salah satu yang dibuat samu adalah anakan ikan haruan yang masih sangat kecil. Membayangkan bagaimana haruan bisa besar kalau ketika kecil sudah dieksekusi walaupun sekali bertelur, haruan betina menghasilkan 10.000 s.d. 11.000 butir.

Penyebabnya bisa saja soal kemampuan peternak ikan dalam pembudidayaan haruan atau karena faktor alam. Namun, jika melihat geografis banua yang dilintasi ribuan sungai dengan sebagian wilayah posisinya di bawah permukaan laut, maka takada alasan kita kekurangan lahan basah untuk itu. Apalagi banua sudah punya Fakultas Perikanan Unlam sejak 1964 yang tentunya sudah menghasilkan ribuan ahli perikanan terbaiknya.

Kasus mahalnya (baca: langkanya) ikan haruan ini barangkali hanya sebagian kecil dari permasalahan di banua yang sudah takmenjadi penting lagi diperhatikan. Seperti skeptisnya kita ketika harus menerima byar-pet listrik justru di daerah lumbung batu bara yang (pernah) menjadi potensi tambang kebanggaan kita atau kurangnya pasokan air bersih ketika musim kemarau.

Makin hari bisa jadi kita akan terbiasa makan tanpa lauk haruan. Bisa dibayangkan makan nasi kuning, lontong, apalagi katupat kandangan hanya dengan lauk telur atau ayam. Atau kita cukup senang menikmati ikan tumon, haruan KW 1. Saya jadi ingat langganan makan katupat kandangan Acil Karau di pasar Binuang. Semoga masih tersedia ikan haruan di sana. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun