liman Syahrani, sastrawan kelahiran Loksado, Hulu Sungai Selatan, tahun 1976, ini membuat ‘susah’ pembaca novelnya. Bukan karena novelnya tebal, tersebab hanya 104 halaman untuk cetakan ke-1 dan 97 di cetakan ke-2. Bukan juga karena gaya penulisannya yang berbeda seperti novel lainnya, tersebab gayanya masih konvensional. Apalagi bukan karena novel ini sulit dicari di toko buku, tersebab masih diedarkan secara indi.
“Dandaman Kada Bapancung” (DKB), demikian judul novel ditulis Aliman Syahrani (AS). Novel yang diterbitkan Pustaka Banua dan diluncurkan oleh Bupati Hulu Sungai Selatan di Pendopo Kabupaten, 27 November 2015 ini menggunakan bahasa Banjar. Maknanya, ‘Rindu yang Takberkesudahan’. Ini bukan novel berbahasa Banjar pertama yang lahir di banua. Sebelumnya, sastrawan HSS juga, Burhanuddin Soebely (1957-2012) sudah menerbitkan dua judul di tahun 2005.
Kelebihan atau bisa juga disebut keunikan novel DKB ini adalah penggunaan dan pemilihan kosa kata bahasa Banjar yang digunakan AS. Bahasa Banjar dalam novel ini adalah bahasa Banjar Hulu, dengan subdialek Bukit, yang masih bisa dipahami oleh orang Banjar, terutama di pahuluan. Namun, ini yang saya sebut ‘maulah ngalu kapala’ dalam endorsement di buku tersebut, AS juga menyertakan kosakata bahasa Banjar arkais.
Kosakata arkais adalah kosakata yang dianggap sudah tidak populer lagi, bahkan mati suri. Hal ini disebabkan sudah tidak dipakai lagi, baik karena penutur aslinya sudah habis dan keturunannya tidak merawatnya. Taufik Arbain, dalam sekapur sirih novel tersebut menyebutkan menemukan 50-an lebih kosa kata arkais dalam DKB ini. Saya, yang hidup dan besar menggunakan bahasa Banjar Kuala ini, justru menemukan lebih dari itu.
Jamal T. Suryanata dalam bahasannya tentang novel ini yang berjudul “Sastra, Bahasa, Banjar : Menyusuri Halaman Novel Aliman Syahrani” menyatakan bahwa bahasa Banjar yang digunakan dalam novel ini bisa saja tidakdipahami oleh masyarakat Banjar Pahuluan sendiri yang tinggal di kampung. Bahkan, jika dibantu Kamus Bahasa Banjar-Indonesia yang disusun oleh Abdul Djebar Hapip (edisi terakhir 1997) takakan menemukan kosakata itu.
Saya kutipkan beberapa kalimat di bab awal novel DKB ini. Jika Anda orang Banjar, baik yang tinggal di banua atau pun di seberang sana, berapa kosakata yang bisa dipahami maknanya:
Pungkalanya sabuting wastu. Dukanu aku suah baja-ap lawan di-inya, bamalam ba-ari di unjut banua, baduduwa-an, bakalubut kadap. Wahini ti, nangapakah aku katia tahabayang tarus lawan sabukuan awaknya. Rarajapan tarus lawan muhanya nang bahindang bahindala. Kada ba-ampihan ta-atirat tarus lawan mungkal awaknya. Kada anjua takacar lawan kulimbit awaknya nang putih kuning sulihan limin mancarunung kaya gadang pisang antuk dikulayak. …
Tersebab novel ini membuat ‘susah’ banyak pembaca di banua, maka dilakukanlah bedah buku ini kemarin, Sabtu, 9 Januari 2016 di Banjarmasin Post. Acara yang digelar Pusat Kajian Budaya Banar, Suluh Banua, dan Banjarmasin Post ini ternyata mendapat antusias publik. Hadirin yang terdiri dari sastrawan, budayawan, akademisi, dan pemerhati buku ini saling berbagi dengan dua narasumber, Jamal. T. Suryana dan Tajuddinoor Ganie.
Ada yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut penulisan dan bedah buku novel DKB. Pertama, kosakata bahasa Banjar yang arkais itu selayaknya diakomodasi oleh Balai Bahasa Kalimantan Selatan dan Universitas Lambung Mangkurat, sebagai lembaga berkompetensi untuk memasukkanya dalam Kamus Bahasa Banjar berikutnya. Kedua, AS dan penulis banua lainnya terus menulis karya sastra berbahasa Banjar, baik puisi maupun prosa. Jadikan idabul AS ini sebagai pemicu gairah untuk lebih mengembangkan bahasa Banjar melalui literasi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H