Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kepuasan Pelukis

6 Juni 2016   11:25 Diperbarui: 6 Juni 2016   11:31 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumen pribadi Zf

Saya merasa beruntung pernah menjadi murid seorang pelukis banua yang sudah menasional, yaitu almarhum Ulie S. Sebastian (1951-2009). Itu terjadi antara tahun 1980-1983, ketika saya sekolah di SMP 6 Banjarmasin dan beliau guru Olahraganya. Dengan bimbingan luar biasanya, saya jadi tahu soal seni lukis dan bisa melukis hingga pernah juara 1 lomba lukis antarpelajar.

Saya pun mulai menekuninya dengan membuat banyak lukisan. Saat itu menggunakan cat air dan kanvas kertas gambar ukuran A3. Objeknya lebih banyak pemandangan. Beberapa lukisan saya dibeli teman-teman ortu untuk anaknya. Itulah kebanggaan dan kepuasan saya sebagai pelukis ABG saat itu. Bila mengisi data di album kenangan teman, saya menulis di kolom hobi : Melukis. Sayang hobi itu takberlanjut. Dan sekarang saya hanya jadi penikmat lukisan saja.

Bila menyaksikan pameran lukisan, seperti dua pameran terakhir, Pameran Lukisan Karya M. Husni Thambrin, aula Taman Budaya, 18-25 Maret 2015, dan Pameran Seni Lukis Peringatan ALRI Divisi IV, di plaza Balaikota, 17-21 Mei 2015, selain kekaguman luar biasa atas keindahannya, juga terpikir, pasti lukisan-lukisan ini berharga mahal jika dijual. Sayang jika hanya habis dipajang begitu saja.

Ketika menyaksikan lukisan “Percaya pada Asa” karya Sulistyono di Balaikota hari pertama pameran, salah satu penikmat di samping saya bertanya, “Berapa ya Pak lukisan ini?”. Saya menjawab setengah garunum, “sayangnya takada lebel harga tertulis”. Apakah karena pekukisnya, atau panitia pameran, hanya menganggap ini sekadar pameran, bukan sekalian jualan, hingga takada lebel harga.

Di beberapa pameran lukisan di galeri dan hotel, seperti yang saya lihat di Hotel Sultan Jakarta, 11 Mei tadi, di bawah bingkai lukisan tertera harganya. Pasti ada pembaca yang menyahut, “nyata ai, wadah pamerannya pang, banyak kolektor dan orang berduit berkunjung”. Ya, sebuah karya seni, apalagi yang bisa dijual, memang harus tepat memilih tempat jualannya. Lantas, apa yang dicari oleh pelukis atas lukisannya pada pameran yang diikutinya?

Menurut saya, ada tiga jenis kepuasan yang diraih seorang pelukis atas lukisannya. Pertama, kepuasan karena sudah menghasilkan sebuah karya lukisan, Kedua, kepuasan karena lukisannya berhasil ikut pameran. Ketiga, kepuasan ketika lukisannya dibeli (dengan harga fantastis) oleh seorang kolektor, atau minimal peminat lukisan. Saya tidak berani mengatakan bahwa kepuasan yang ketiga itu adalah puncak karena semua tergantung nawaitul si pelukis.

Semestinya, orientasi pameran lukisan harus berubah dari sekadar pameran ke sebuah bursa lukisan. Pelukis harus lakukan terobosan berpameran di tempat yang takpernah sepi pengunjung, dan tentu berduit, seperti Mal-Mal dan Hotel-Hotel (yang terakhir ini pernah diikuti oleh beberapa pelukis banua saat di Rattan In Hotel).

Pelukis harus punya tenaga marketing yang hebat. Takmasalah menggandeng sebuah EO karena mereka berpengalaman melakukan pameran. Dan tentu ini sebuah usaha kolaborasi apresiasi dengan bisnis. Saya pikir, sayang kalau seusai pameran, pelukis membawa kembali sejumlah lukisannya pulang, tanpa ada yang berpindah tangan. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun