“Bawa ngupi dulu!” Ajakan itu sering masuk ke telinga kita, baik dengan suara yang jelas maupun seperti tiba-tiba melintas. Hadir, ketika tiba jam istirahat kerja, ketika ingin membuat janji ngobrol dengan teman-teman, ketika mata mulai mengantuk sedangkan pekerjaan belum kelar. Dan yang lebih sering, ketika ide untuk menulis takmuncul-muncul.
Ajakan untuk ngupi itu tentu sayang untuk diabaikan. Apalagi minum kopi memang sudah merupakan kebutuhan. Sama seperti bagaima orang sangat menikmati dan takbisa lepas dari rokok. Namun, dibanding rokok, risiko kopi jauh lebih aman. Walaupun sering kita temukan, seorang perokok juga adalah seorang peminum kopi.
Kata ‘kopi’ berasal dari bahasa Arab, qahwah yang berarti kekuatan karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Kata qahwah mengalami perubahan menjadi kahveh (Turki) dan berubah lagi menjadi koffi (Belanda). Dr. Charles B. Reed, seorang dosen kedokteran di Northwestern University, menyebut kopi adalah salah satu substansi yang menghasilkan orang-orang yang jenius.
Kafeinsebagai kandungan utama kopi ternyata mampu membuat stimulan pada syaraf pusat sehingga memperbaiki daya ingat. Kafein juga meningkat kadar dopamin di otak yang membuat penikmatnya merasa lebih baik dan meningkat suasana hati. Hal terakhir inilah barangkali yang menyebabkan para seniman, sastrawan, dan penyair suka ngupi karena dapat memberi ruang untuk memperoleh inspirasi dan membangun imajinasi.
Banyak penulis yang menyinggung soal kopi dalam karya-karya mereka, dari Rhazes (850-922) sampai Francis Saltus. Karya sastra pertama yang otentik tentang kopi ditulis oleh Abd-al-Kâdir di tahun 1587, dan sampai sekarang disimpan oleh perpustakaan nasional di Paris, Bibliothéque Nationale, Paris, di bawah katalog yang diberi nama “Arabe, 4590″. Puisinya yang sangat terkenal adalah “In Praise of Coffee”.
Voltaire dan Balzac adalah dua di antara banyak nama yang terkenal di kesusastraan Prancis, adalah pecandu kopi. Sir James Mackintosh (1765–1832), seorang ahli filosofi asal Skotlandia dan politisi, sangat suka kopi. Nama-nama lain yang dapat disebutkan sebagai pencinta kopi yang hidupnya berkecimpung di dunia tulis menulis adalah Parson and Parr, sepasang cendekiawan Yunani, juga Burton, Dean Swift, Addison, Steele, Leigh Hunt.
Sementara itu, ngupi bagi kebanyakan urang banua adalah bagian dari ritual keseharian. Kebiasaan ini taklepas dari budaya mawarung yang takpernah pudar. Sebuah budaya duduk di warung, depan rumah, atau depan gang, sekadar minum atau ditambah beberapa kue, bahkan juga sambil makan. Dan minuman yang paling banyak diseruput adalah kopi. Selebihnya, dan ini yang makan waktu lebih lama, adalah mengobrol dengan orang-orang yang hadir di warung.
Saya masing ingat dan masih sering menemukan bagaimana urang Banjar minum kopi di warung. Kopi yang dikonsumsi adalah kopi hitam pekat. Bahkan masih terlihat serbuk hitamnya muncul di permukaan air, setelah diaduk. Dalam kondisi air seduhan yang masih panas, kopi tetap dinikmati. Caranya, menumpahkan sedikit ke piring tatakan gelas. Meniup-niupnya sebentar dan langsung menyeruputnya.
Bagi masyarakat kota, termasuk Banjarmasin dan kota-kota metro lainnya, ritual ngupi sudah berpindah ke kedai-kedai kopi atau yang lebih keren disebut café. Di tempat ini pecandu kopi bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk ngobrol, sambil menghabiskan segelas kopi dengan segala rasa variannya. Dari aroma harum kopi inilah muncul ide-ide gemilang tentang segala sektor kehidupan, termasuk tulisan esai ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H