Puisi menjadi isu hangat di tengah gempitanya partai politik dan para calon legislatif bertarung menjelang hari ‘h’ Pemilu 2014. Salah satu genre sastra ini mencuat setelah seorang Fadli Zon menulis dan mempublikasikannya. Menjadi menarik karena puisi tersebut dihadirkan justru di tengah isu persaingan politik yang luar biasa antara penulis puisi, sebagai politisi senior salah satu partai dengan tokoh dari partai lain yang digadang-gadang bakal menjadi capres mendatang.
Selain sebagai politisi dan budayawan, Fadli Zon juga ponakan penyair Taufik Ismail ini diketahui sebagai Dewan Redaksi Majalah Sastra Horison. Tidak heran jika lima puisi yang ditulisnya dalam rentang waktu selama masa kampanye pileg ini penuh dengan simbol-simbol bernada satire dan sangat puitis. Namun, siapa pun yang membacanya, pasti mampu menangkap makna tersirat puisi ini dan mengaitkan dengan situasi saat puisi itu dicipta. Buktinya, puisi-puisi tersebut mendapat balasan puisi senada yang ditulis Fachmi Habcy, lawan politik.
Puisi memang takbisa melepaskan diri dari lingkungan dan peristiwa di sekitarnya. Puisi menjadi semacam dokumentasi abadi yang merekam segalanya dengan saksama. Dan bagi penyair, puisi bukan lagi sekadar alat untuk menyampaikan pikiran dan perasaan melalui diksi-diksi dan bunyi yang tertata dan indah. Namun, puisi sudah diberi beban untuk meneruskan misi penulisnya. Rasa rindu, cinta, benci, kritik, protes, hujatan, pujian, atau sekadar garunum bisa disalurkan melalui bahasa puisi.
Dalam konteks politik, puisi di Indonesia sudah cukup lama memainkan perannya. Peristiwa debat puisi semacam itu pernah terjadi ak hir 1920-an. Bung Karno yang nasionalis menggambarkan cinta kebangsaan didorong cinta tanah air berdebat melalui puisi dengan Haji Agus Salim yang agamis menekankan nasionalisme karena Allah semata. Bung Karno menampilkan puisi yang berjudul “Ibumu Indonesia teramat Cantik” sedangkan Haji Agus Salim dengan puisi “Tanah Air Kita”.
Presiden Nixon, seperti dikutip Goenawan Mohammad, menyatakan ada relasi lain antara politik dan puisi. Politik harus bisa memesona massa, sama halnya seperti puisi memesona apresiatornya. Maka politik pun lahir dengan idiom dan metaforanya sendiri. Apa yang dilakukan Fadli Zon adalah tindakan ‘puitisasi politik’, memindahkan bahasa politik ke dalam puisi, sedangkan lawan politiknya, termasuk media massa, dan pemerhati politik melakukan ‘politisasi puisi’, karya puisi dijadikan komoditas politik.
Setiap orang berhak menggunakan puisi untuk kepentingan apa pun, termasuk para politikus. Namun, sebagai sebuah karya mengandung nilai estetis, muncul pertanyaan apakah pantas politisi berpuisi hanya untuk memenuhi ambisi politiknya, menjelekkan lawan, dan menarik keuntungan dari kemelut pencitraan itu. Sepertinya, politikus mencari dimensi lain dalam bermain politik, walaupun harus membenturkan estetika dengan cara kotor.
Suatu saat ketika John F. Kennedy dilantik sebagai Presiden Amerika, dia mengundang penyair besar Amerika, Robert Frost untuk membacakan puisi. Setelah puisi dibacakan oleh Frost, Kennedy membacakan semacam ‘teologi’. Dia mengatakan ‘When power corrupt, the petry cleans.’ ‘Ketika politik itu korup, ketika kekuasaan itu kotor, puisilah yang akan membersihkannya’. Ya, sejatinya memang begitu! ***
Esai ini dimuat di halaman Balairung, Banjarmasin Post, Minggu, 6 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H