Sejarah dewan kesenian (DK) di Indonesia memang takpernah lepas dari politik kebudayaan yang dibangun pemerintah saat itu. Seniman sebagai salah satu aset bangsa dianggap memliki peran strategis dalam mempengaruhi opini publik. Apalagi ketika itu terjadi tarik menarik kepentingan antara kubu nasionalis religius dengan sosialis komunis. Dari situasi inilah muncul Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963 yang membuka kesadaran karyawan-karyawan kebudayaan nasional untuk bersama dalam satu wadah.
Gerakan kesadaran itu berujung pada munculnya ide mendirikan DK sebagai wadah bersama para seniman. Ali Sadikin bersama Salim Said dan Goenawan Mohammad sepakat mendirikan Badan Pembina Kebudayaan yang kemudian berganti menjadi Dewan Kesenian Jakarta, pada tanggal 7 Juni 1968 dengan Trisno Sumardjo sebagai Ketua. Peran dan fungsi dewan kesenian saat itu adalah sebagai tameng dan benteng pemerintah untuk menangkal infiltrasi sosialisme dan komunisme dalam ranah budaya.
Taklama setelah itu terbentuklah DK serupa beberapa daerah. Banjarmasin (Kalimantan Selatan) adalah daerah ke-4 yang mendirikan setelah Medan, Surabaya, dan Ujung Pandang. Bermula dari pertemuan para seniman banua pada Musyawarah Seniman (Musen) pertama se-Kalsel, 28 April s.d. 2 Mei 1971 di Amuntai. Berdirilah Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kalsel dengan ketua terpilih, seniman dan politisi saat itu, Anang Adenansi.
Fungsi DK saat itu adalah sebagai “penghubung” antara pemerintah dan para seniman di tengah fenomena cairnya sebuah migrasi budaya. Dalam perjalanannya DK mengalami berbagai macam persoalan, termasuk kebijakan politik yang dirasa sangat mengganggu. Namun, DK akhirnya mengalami interpretasi dan reinterpretasi peran dan fungsinya dengan keluarnya Instruksi Mendagri No. 5A Tahun 1993 tentang pendirian DK. Sejak saat itu berdirilah DK di seluruh provinsi, kota, dan kabupaten dengan surat keputusan kepala daerah setempat.
DK Kalsel dan DK Kabupaten / Kota sudah mengambil peran dalam peta pembangunan kesenian dan kebudayaan daerah. Apalagi DK daerah ini mampu menempatkan posisinya sebagai organisasi seniman yang profesional, yang tidak berada di antara kepentingan politik (praktis), kepentingan pemerintah daerah, dan kepentingan seniman. Walaupun dalam kepengurusannya pernah ada tokoh birokrat yang menjadi ketuanya, tetapi DK tetap mampu menjalankan visi, misi, dan programnya.
DK memang punya peran yang takringan. Jika melihat hasil Munas DK se-Indonesia, 15-17 Maret 1996 di Medan, ada dua peran, yaitu sebagai pemikir dan konseptor kebijaksanaan serta sebagai pelaksana pembinaan dan pengembangan kesenian daerah. Apalagi ada banyak bidang seni dan permainan / pertunjukkan rakyat yang harus dibina dan dikembangkan. Oleh sebab itu, perlu kerjasama dan pembagian tugas yang jelas antara DK Provinsi dengan DK Kabupaten / Kota.
DK Kalsel Periode 2014-2015 telah dibentuk secara demokratis dalam Musen V tanggal 11-12 April tadi. Ada banyak harapan dipikulkan pada kepengurusan ‘baru’ ini. Sebagai wadah bersama para seniman, DK sejatinya mampu berdiri di atas semua kelompok seni dan setiap pribadi seniman. DK juga diharapkan mampu menjadi wadah yang sejuk bagi seniman untuk mewujudkan, menunjukkan, dan mengembangkan karyanya sehingga semua kelompok seni dan seniman merasa menjadi anak kandung di DK-nya sendiri. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H