“Kota adalah arca
Ukiran tangan-tangan manusia
Semakin renta ditelan usia
Tinggal kerangka dirayapi jelaga”
Bait puisi di atas adalah kutipan karya Micky Hidayat yang berjudul “Lanskap Kota”. Sebuah kecenderungan penyair yang takpernah puas dengan kondisi kotanya. Kecenderungan semacam ini juga dimiliki siapa pun yang menghuni sebuah kota. Jika harus berkomentar, maka yang muncul adalah gerutu tentang kotanya.
Kota memang bukan penjara bagi warganya. Kota takboleh merasa selesai tugasnya setelah cukup menyediakan sandang, pangan, dan papan bagi penghuninya. Kota juga jangan merasa jumawa setelah cukup memberikan sekadar taman dan sejenak udara segar. Kota bukanlah sebuah kotak kaku dan terbatas.
Sekelompok orang yang dipercaya menjadi pengurus kota tampaknya memahami persoalan kota hanya sebatas kota sebagai “town” dan menggenjot pembangunan agar bisa menjadi “city”. Akibatnya, semua persyaratan yang harus dicapai oleh sebuah “city” dikondisikan untuk dipenuhi. Semua anggaran dirancang dan digunakan sebesar-besarnya untuk memakmurkan kota sebagai “large town”
Dari enam fungsi sebuah kota yang dianggap maju,seperti Klasifikasi Gist, N.P & Halbert L.A. , maka fungsi yang paling diabaikan oleh banyak pemerintah kota adalah kota sebagai pusat kebudayaan. Kota seakan alergi untuk dijadikan wahana berkebudayaan bagi warganya. Kota hanya senyum manis jika dijadikan sentral industri dan perdagangan, serta pemerintahan.
Banjarmasin, barangkali bisa dijadikan contoh untuk kota semacam itu. Sampai di usia ke 488 tahun ini, kota ini belum memberikan wadah yang bakurinah dan kada bawayahan bagi sebuah kegiatan berkebudayaan dan berkesenian. Banjarmasin, misalnya, belum punya gedung kesenian, sebagai salah satu identitas kota berkebudayaan. Kota ini juga belum punya rencana strategis dalam pembinaan kebudayaan.
Kita cukup bangga karena ada banyak kegiatan budaya dan seni dilaksanakan secara rutin di kota Banjarmasin. Namun, sama diketahui kegiatan itu hanyak dijadikan sarana reakreasi dan penghibur warganya atau menjadi bagian dari sebuah industri. Akibatnya, para seniman jadi seperti tukang, bukan insan kreatif yang mempunyai kebebasan berekpresi.
Ruang-ruang publik dibuat hanya sebagai sarana rekreasi dan bisnis. Takada bangunan bentuk panggung di dalamnya. Jika juga dibangun panggung-panggung luas, takjelas peruntukkannya untuk apa. Kalau ada seniman dan budayawan akan mengunakannya tidak jelas harus izin kepada siapa, dan apakah berbayar atau tidak. Akhirnya, seniman dan budayawan merasa sebagai warga yang terabaikan.
Kembali kepada puisi Micky Hidayat di atas. Pada bait terakhir, sebuah ironi dia tuliskan :
“Inilah kota
Bagaikan asap, kabut, dan sampah
Mengundang gairah orang-orang saling meludah
Kota pun basah” (Zf)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H