Mohon tunggu...
Zulfadli Kawom
Zulfadli Kawom Mohon Tunggu... -

Ada banyak penyair yang senang berkutat dikamar; berakrobat dengan kata-kata dengan berpatokan pada pada referensi ribuan buku yang dibacanya. Aku lebih memilih berpetualang; menceburkan diri kedalam kehidupan yang keras dengan melihat langsung, merasakan, mengalami, menemukan dan menuliskannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Once Upon a Time in Kembang Tanjong

31 Juli 2013   21:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:46 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah bertahun-tahunaku menikah. Waktu telah lama berlalu sejak pertemuanku dengan istriku kini. Husni, Daud, Basri , Bang Mus, merekalah yang sangat berjasa dalam perkenalanku dengan orang mendapingiku kini. Semuanya adalah kenangan yang sangat indah, aku akan terus mengenangnya. Tetapi hari ini, saat aku mulai menulis kisah ini bayangan ruangan Puskesmas Kembang Tanjong tempat segalanya bermula itu makin kuat dalam benakku.

Kenangan itu memang luar biasa. Segala yang telah terlupakan dan tersembunyi bagai terbuang dirimba yang gelap, tiba-tiba muncul bagai penerang. Aku dapat membayangkan kembali dengan begitu jelas, seolah-olah waktu berhenti, dankembali bergerakke masa lalu….

Saat itu adalah musim kemarau menurut Keuneunong , Kalender Musim lokal yang masih dipercayai di pesisir Kembang Tanjong Pidie. Orang-orang malas melaut, karena arah angin tidak menentu dan sangat kencang, orang-orang mulai beralih mata pencaharian dari nelayan ke pedagang keliling. Hanya “ang..ing” suara anjing yang sedang kawin diluar, dan ini sebagai suatu pertanda juga akan dimulainya musim kemarau dalam Keuneunong yang masih dipercaya masyarakat disini.

Husni, Daud, Basri dan Bang Mus yang baru ku kenal, malam itu kami berada di sebuah ruangan Puskesmas yang tidak berfungsi, karena kekurangan alat-alat medis dan tenaga kesehatan. Begitu kata orang-orang disini.

Kami baru saja selasai merebus ubi dan tengah menghirup kopi, dikitari karpet plastik yang mulai koyak dan berkerut, tikar dan bantal berserakan, begitu juga puntung rokok. Saat berada diluar kita bisa mendengar gemercik air dari sebuah sungai.

Aku tengah merenungi perkenalan dan percakapan kami malam itu. Ya, Malam itu aku ingin bercerita panjang lebar tentang keberadaanku di kampung ini. Tiba-tiba sebelum aku memulai pembicaraan Bang Mus tiba-tiba mulai membuka pembicaraan setelah melihat aku diam sejenak.

“Jika masa lalu bisa diulang sungguh indah”, Ujar Bang Mus dengan suara kurang jelas karena misainya sudah panjang hampir menutupi bibirnya,” Ya, hanya kenangan yang tersisa.”

Karena konsentrasinya menganggu, Bang Mus mengerutkan dahi dan menoleh pada sebuah gitar yang berada di sudut kamar.Ya. Selain ahli dalam fotografer, menulis, Bang Mus juga jago main gitar, menurut Husni temannya. Padahal Orang tuanya adalah seorang pedagang ulung, sementara Husni dan Basri sedang asyik main catur sambil menghisap sebatang rokok berdua. Daud sedang keluar membeli rokok.

Dengan rasa malas, Bang Mus menaruh kembali gitar buatan jerman yang sangat bening suaranya pada sudut kamar.

Bang Mus mengambil sebatang rokok, lalu memental-memental ujungnya pada kuku ibu jarinya.

“Mengapa diam saja, apakah kau sedang memikirkan seseorang?” Bang Mus mulai bertanya.

“Ya, dan saya ingin minta tolong Bang Mus menulis Surat cinta” jawabku langsung tanpa basa-basi.

“Untuk siapa?” sambungnya sambil menyalakan rokok.

“Untuk seseorang yang sangat saya sukai di Kampung tetangga abang” jawabku

“Wah…tambah banyak tugas saya..!”guman Bang Mus

“Kamu benar suka padanya?” sambung Bang Mus lagi.

“Ya, saya benar-benar suka, malah saya akan mengawininya Bang”

“Ooooooooo.. begitu?’ tambahnya.

“Kamu kok tau saya bisa menulis surat cinta?” sambung Bang Mus lagi

“Ya, saya tahu dari orang-orang dan teman-teman saya disini bilang kalau abang jago nulis surat cinta, tidak ada gadis yang menolak ketika abang menulisnya, dan cukup banyak pemuda disini yang sudah berkeluarga, katanya semuanya berkat jasa abang dalam menyulap kata-kata dan berbunga-bunga dalam surat cinta mereka”.

Sebenarnya aku masih sangat segan untuk memintanya menulis surat cinta, mengingat aku belum genap tigapuluh hari berada dikampung ini, aku hanya pekerja bangunan yang dibawa oleh pamanku kesini. Pamanku seorang pemborong,kali ini aku sedang bekerja menyelesaikan beronjong sungai di Kampung Linggong Kembang Tanjong.

‘Wahhh….jadi tambah kerjaan saya lagi”samabung Bang Mus lagi

“Ok, Tidak apa-apa, apakah bisa kita mulai sekarang?”ajaknya.

Aku mengangguk dan memberikannnya secarik kertas dan pena yang dari tadi sudah kusiapkan.

“Coba ceritakan ciri-cirinya, kulitnya, rambutnya, hidungnya, dan rumahnya dimana? Apakah dekat sawah, sungai, laut, perbukitan?” Tanya Bang Mus dengan detail..

“Saya rasa begitu,” gumamnya lagi.

*****

Aku sungguh bernasib Mujur. Surat cintaku telah diterima dan balasannya sangat membuat aku bahagia seolah dunia ini sebahagian milikku. Kamipun menikah tak lama setelah berpacaran, seperti janjiku pada Bang Mus. Kami sangat sangat menikmati percintaan setalah menikah. Kini aku tidak lajang lagi. Kami sudah mempunyai seorang anak. Dan, kami tak pernah membayangkan sebelumnya, ya, surat cinta kami masih tersimpan dengan baik. Saat ini aku berhasrat untuk menjumpai Bang Mus. Ya, Bang Mus, sosok pemuda multi-talenta dari Kembang Tanjong, menurutku dia tidak cocok tinggal dikampung, minimal orang seperti ini tinggal di Australia, cara berpikirnya sudah sangat jauh, namun dalam kesehariannya orang-orang kampung mengganggapnya aneh.

“Ya.. Begitulah, orang kampung kita, main gitar, berambut panjang, celana robek-robek, bawa kamera kemana-mana memotret bangau, kerbau, baca majalah, novel, dianggap aneh kalau dikampung” Kata Bang Mus suatu waktu di sebuah Kedai Kopi dekat jembatan Kembang Tanjong.

Namun itu semua kini semua jadi kenangan, dan aku masih bertanya-tanya dalam hati kecil, apakah Bang Mus masih hidup?, setelah dilanda perang menahun pada akhirnya pihak yang bertikai ini berdamai, padahal tidak ada yang menyuruh dan melarang mereka untuk berperang dan berdamai dan bencana alam ketika air laut marah dan tumpah ke darat mengejar orang-orang yang berbuat maksiat atau tidak.

Aku sendiri lupa menanyakan nama aslinya sewaktu masih di Kembang Tanjong, karena buru-buru dijemput dengan Mobil Pick-Up oleh pamanku malam itu, tanpa sempat mengucapkan terimakasih padanya.

Siapa ya nama lengkapnya? Orang-orang memanggilnya Mus, anak-anak memanggilnya Bang Mus, Orang tua memanggilnya Nyak Muh. Apakah nama lengkapnya Mustafa, Muslim, Mus Mulyadi atau Musmarwan? Entahlah, nama lengkap itu tak penting, toh aku bukannya orang yang bekerja pada kantor catatan sipil, yang penting aku ingat cirinya-cirinya, kulit hitam manis, berambut lebat hitam legam, ada tahi lalat agak besar di dekat pangkal bulu kening sebelah kanan. Dia juga di gelar sebagai Preman Pasar Kembang Tanjong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun