Mohon tunggu...
Zulfadli Kawom
Zulfadli Kawom Mohon Tunggu... -

Ada banyak penyair yang senang berkutat dikamar; berakrobat dengan kata-kata dengan berpatokan pada pada referensi ribuan buku yang dibacanya. Aku lebih memilih berpetualang; menceburkan diri kedalam kehidupan yang keras dengan melihat langsung, merasakan, mengalami, menemukan dan menuliskannya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kenangan Bersama Panglima Uteun Sikundo

24 Januari 2014   21:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah Catatan Perjalanan Pembuatan Film Dokumenter

“ Hutanku Istanaku”

Oleh:Zulfadli Kawom

Awalnya aku sulit percaya, bahwa Lembaga Adat Utuen di Aceh masih wujud dan masih ada orang yang bersedia menjadi panglima uteun masih ada dan eksis, karena dibantai dengan beberapa kebijakan pemerintah atau diam-diam keberadaan lembaga adat uteun ini telah hilang dengan sendirinya, karena tidak ada yang peduli lagi. Berbeda dengan Panglima Laot, yang bagi saya sebagai orang pesisir utara Pase, Aceh Utara-panglima laot sangat dikenal, apalagi paska Tsunami Aceh, eksistensi panglima laot bahkan sudah dikenal oleh lembaga asing yang membantu rehabilitasi dan rekontruksi Aceh paska tsunami.

Namun pikiran-pikiran saya tadi tentang keberadaan panglima uteun terbantah mentah-mentah, saat pertama kali menelusuri Hutan Gampong Sikundo Mukim Lango Kecamatan Pantee Ceureumen Kabupaten Aceh Barat. Tradisi pengelolaan hutan yang arif bijaksana telah lama dipraktekkan secara turun temurun dalam masyarakat disana. Selama seminggu bersama panglima uteun di Sikundo saya mendapatkan banyak ilmu dan pengetahuan tentang Adat Utuen.

Tidak mudah memang untuk mencapai ke Sikundo, menurut Teungku Idrus, Sekretaris Mukim yang kami jumpai di Keudee Pantee, sebutan warga disana untuk kedai yang berda di ibukota kecataman-Belanda saja kewalahan saat menghadapi perang gerilya Cut Nyak Dhien yang pernah tinggal disini.

Menuju Sikundo kita harus berjalan kaki paling cepat setengah hari, berjalan diantara bukit dan lereng terjal, menyebrangi beberapa sungai dan alur dan yang paling memacu adrenalin adalah saat melewati 7 jembatan gantung (tali dua) mereka menyebutnya, “Ayoun”. Jangan coba-coba nekat tanpa perlengkapan yang lengkap, mulai dari tenda, senter, obat-obatan, logistik makanan yang cukup, serta fisik dan mental tentunya.

Setelah berjalan kaki selama hampir empat jam. Kami menyebrangi sungai yang lumayan deras dan berbatu dengan berenang. Saat di jembatan gantung bertali dua pertama. Jantung saya berdegup kencang, hanya bisa melihat-lihat orang-orang Sikundo yang sudah terbiasa, menari di atas tali dua yang melintang dan di ikat di pohon-pohon besar. Seorang pemandu membisiki saya bahwa, dijembatan ini Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari kesatuan Raider pernah jatuh dari jembatan ini, dan tewas karena airnya sangat deras dan tak jauh memang dari sana terlihat linggoung krueng (belokan sungai).

1390573647881397635
1390573647881397635

Diseberang kawan-kawan lain sudah menunggu, sudah menjadi kebiasaan disini, saat akan menyebrangi sungai dan melintasi jembatan tali dua dilakukan secara bersama-sama (berkelompok), agar kalau terjadi terjadi apa bisa cepat ditangani.

Jembatan pertama berhasil saya lewati, walau sangat pelan dan lama. Beberapa orang Sikundo yang kebetulan berpas-pasan dengan kami akan menjadi tontonan yang terkadang lucu. Sesekali mereka memberi aba-aba atau perintah, “Bek kangieng uyub”, jangan lihat kebawah dan lain-lain. Memang benar saat kita diatas jembatan ini seperti nak ayunan terayun kesana kemari seolah-olah jembatan sedang berjalan diatas air.

13905732331412160467
13905732331412160467

Jembatan pertama berhasil saya lewati disambut dengan gelak tawa, sehingga ketegangan perlahan hilang. Kami berjalan lagi. “Ada 6 jembatan lagi bang” kata pemandu. Saya hanya menganguk dan terus berpikir agar nantinya saya usahakan lebih cepat dan mencoba untuk lebih berani lagi.

Lima  jembatan terlewati tanpa ada hambatan apa-apa, karena kelelahan kami istirahat sebantar pada sebuah rangkang blang (dangau), kami disuguhi kacang rebus disana oleh seorang warga. Terlihat hijaunya hutan, gunung, gemercik air di sungai. Petani di sawah sedang memotong padi. Sungguh mempesona. Saya mengabadikan beberapa foto sambil melihat-melihat objek untuk stock gambar film.

1390579413949989759
1390579413949989759

Kami berjalan lagi, kali ini melewati persawahan dan bantaran sungai Hulu Krueng Meureuboe. Beberapa saat kemudian baru terlihat pemukiman, rumah-rumah berkonstruksi sederhana milik masyarakat gampong sikundo terlihat sepi, mereka sedang beraktifitas di sawah dan ladang. Didepan dan di atap rumah-rumah terlihat panel surya, karena disini arus listrik dari PLN tidak masuk. Disini juga jangan berharap ada sinyal handphone, saya lalu me-non-aktifkanya.

1390573326435872931
1390573326435872931

Dalam hati saya, akhirnya sampai juga dan saya sangat ingin segera mandi dan istirahat, karena hari sudah sore. Awalnya saya berpikir bahwa kami menginap di daerah ini. Namun, ternyata rumah untuk kami menginap berada di seberang sungai. “Bak na kouh tutu ayoun taloe dua kreek lom sabouh teuk”, (harus melewati satu jembatan lagi ini) batin saya.

Akhirnya saya benar-benar merdeka, kru pembuat film sudah bisa beristirahat, sebagai penulis scenario dan sutradara, saya menyiapkan beberapa catatan untuk pertanyaan kunci pada subjek film. Memeriksa kondisi perlengkapan seperti kamera, tripot, cas baterai dan lain-lain. Malam pertama, sambil merebahkan badan, kami hanya asyik bercerita tentang perjalanan kami tadi, ada banyak hal, terutama tentang kelucuan-kelucuan. Dirumah yang kami tempati ada mesin Genset, untunglah sekretaris mukim mengingatkan kami agar membeli 5 liter solar sewaktu ke Ibukota Kecamatan Pantee Ceureumen. Bangun pagi setelah mandi di sungai, menikmati kopi saya menuju ke rumah panglima utuen.

Saya secara khusus datang kerumahnya yang agak terpisah dari pemukiman, rumahnya berada dilereng gunung, saat akan memasuki rumahnya kita menyebrang anak sungai yang terpaut tidak jauh dari rumahnya. Pagi itu memang beliau menunggu saya karena telah diberitahukan oleh sekretaris gampong. Rumah panggung sederhana,  terlihat beberapa alat tangkap ikan, tergantung di dinding rumahnya. Saya dipersilahkan masuk, terlihat beliau memang sudah bersiap-siap berangkat masuk hutan bersama rombongan kami. Seorang perempuan lanjut usia sedang memasak didapur, itulah istrinya. Saya tidak sempat bertanya apakha punya beliau punya anak atau tidak, takut tersinggung ; saya hanya menyakan kondisi alam, dan hal-hal yang perlu kami persiapkan saat akan memasuki hutan. Sesaat kemudian Istrinya muncul dan menyuguhkan kopi untuk saya. Setelah semuanya siap, kamipun bergerak masuk ke hutan dan menerobos rimba belantara. Panglima uteun ditemani oleh sekretaris gampong dan kami dari kru film berjumlah 4 orang, ditambah pemandu lokal 2 orang dari gampong canggai.

1390573533834193000
1390573533834193000

Teungku Banta Lidan, begitulah namanya, beliau yang berusia 55 tahun masih terlihat sangat sehat dan kuat, terlihat kami dan rombongan selalu tertinggal jauh saat memasuki hutan, padahal usia kami rata-rata masih berkepala tiga. Beliau tidak pernah memakai sandal kemanapun, itu kesehariannya. Saat akan mamantau hutan beliau selau siap siaga ditemani parang dan memakain kain hitam yang dililit membalut kepalanya, turban khas Beutoung Beunggala ini selalu dikenakannya saat akan masuk hutan. Setelah berjalan hampir tiga jam kami beristirahat pada sebuah rangkang (pondok), lalu melanjutkan lagi melewati sungai, krueng peureucouh. Kami beristirahat disana selama satu jam lebih.

Dia mulai menceritakan kondisi hutan Sikundo, sebelumnya masih perawan, namun pada masa Rezim Orde Baru mereka terpaksa pindah. Tidak ada yang bisa dilakukan saat perusahaan PT. Raja Garuda Mas (RGM) membabat hutan mereka.

“Mau mengadu kemana, mereka telah mendapat izin pemerintah” katanya dengan mata terbata-bata.

Pada masa itu mereka hanya bisa diam tanpa bisa melawan, melawan pada masa itu dianggap pejuang GAM. Saat konflik Aceh memuncak pihak perusahaan hengkang, karena kawasan Sikundo  dijadikan markas gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Saya pernah dipukuli tentara karena nama saya sama dengan nama orang yang mereka cari.

1390573419183034069
1390573419183034069

Ada beberapa pantangan dan larangan saat kita di hutan menurutnya, misalnya, hanjeut taseumeurak lam utuen (tidak boleh berteriak dalam hutan), hanjeut kouh kayee yang toe ngon krueng (tidak boleh menabang pohon di bantaran sungai), kalau mau masuk hutan dan mencari kayu, khusus untuk kayu buat rumah harus berkoodinasi dengan panglima uteun dulu. Bagi masyarakat yang ingin membuka lahan, harus mengadakan khanduri uteun (kenduri uteun) dulu. Kalau ada yang melanggar akan dikenakan sangsi adat. Berdasarkan penuturan Tgk Banta Lidan, Panglima Uteun Sikundo berada dibawah Panglima Uteun Mukim Lango. Hal ini terlihat saat ada sidang diperadilan  adat gampong tidak selesai, maka akan dilimpahkan ke Peradilan Adat ditingkatan Mukim.

Sampai saat ini Teungku Banta Lidan sebagai Panglima Uteun tidak pernah menerima yang namanya, upah, jerih ataupun gaji dari pemerintah. Kareuna uteun nyoe enteuk  tapulang keu aneuk cuco, teutap long jaga (Karena demi anak cucu saya tetap menjaga hutan ini), misue uteun nyoe anco, pat tamita lom raseuki (karena kalau hutan ini hancur, dimana kami harus mencari rezeki). Meunyoe uteun ka anco, nanggroe pih anco (Kalau hutan sudah hancur, tunggulah kehancuran negeri). Begitu pesan terakhir panglima uteun, yang sampai sekarang masih membekas dalam kepala saya.

Catatan

Panglima Uteun yang berarti Panglima Hutan (semacam pawang hutan, namun jabatannya berada di atas pawang hutan) adalah orang yang bertugas menjaga keasrian dan keberlangsungan hutan. Berada di bawah Imuem Mukim (setingkat camat), Panglima Uteun ini memiliki beberapa tugas, diantaranya adalah sebagai pihak yang memiliki otorita menegakkan norma-norma adat yang berkaitan dengan memasuki dan pengelolaan hutan,mengawasi dan menerapkan larangan adat, berfungsi sebagai pemungut segala hasil hutan (untuk pada akhirnya disetorkan kepada raja sejumlah 10%), dan Panglima berfungsi menjadi hakim dalam menyelesaikan sesuatu perselisihan dalam pelanggaran hukum adat hutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun