TOLERANSI UMAT KRISTIANI DI GEREJA KATOLIK PAROKI RATU ROSARI DARI FATIMA KESATRIAN MALANG
PENDAHULUAN
Pada hari Sabtu tanggal 14 Maret 2020, saya bersama teman saya melakukan observasi tentang toleransi beragama di Gereja Katolik Paroki Ratu Rosari dari Fatima Kesatrian Malang. Kami hendak melakukan wawancara tentang bagaimana umat kristiani hidup di tengah- tengah keberagaman agama yang ada.
Kita tentu telah mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara yang hidup dengan keragaman. Mulai dari keragaman suku, budaya, tradisi, adat, hingga agama. Di Indonesia sendiri terdiri dari 5 agama resmi. Yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu.
HASIL OBSERVASI
Gereja ini terletak di Jalan Plongkowati No. 2 Malang. Gereja ini dipimpin oleh Pastur Romo Agustinus I Nyoman Murtika, Svd. Pada observasi ini kami melakukan wawancara bersama Bapak Ruli yang menjabat sebagai petugas sekretariat gereja ini.
Beliau menjelaskan bahwa toleransi beragama di lingkungan Gereja Ratu Rosari sangatlah tinggi, meskipun lingkungan di sekitarnya mayoritas beragama Islam. Toleransi bisa kita temukan ketika warga yang beragama Islam hendak mengadakan pengajian, pihak gereja dengan senang hati mengizinkan warga agar bisa menggunakan halaman gereja sebagai tempat parkir.
Contoh lain apabila ada kegiatan rapat warga, semua warga ikut hadir tanpa terkecuali, meliputi warga yang beragama Islam maupun non Islam. Beliau juga bercerita ketika ada acara ulang tahun gereja, pihak gereja turut mengundang warga agama lain dengan tujuan memperat persaudaraan antaragama.
Ketika saya mewawancarai beliau mengenai pernah tidaknya mendapat perlakuan yang berbeda dari pemeluk agama lain, beliau menjawab “Tidak pernah. Selama ini orang- orang bisa menerima saya dan agama saya. Semua bisa menghargai tanpa ada perbedaan perlakuan yang ditujukan kepada saya.”
Mengenai pernah tidaknya umat Kristiani merasa terganggu dengan adanya kegiatan yang dilakukan oleh umat Islam, beliau menjawab “Tidak pernah sih, misal ada adzan pun kan juga tidak bebarengan dengan kegiatan ibadah di gereja. Dan apabila ada perayaan keagamaan seperti tahun baru Islam maupun takbir keliling, kita tidak merasa terganggu, toh itu semua hanya perayaan tahunan yang dirayakan setahun sekali. Kuncinya hanyalah kita harus bisa saling menghagai apa yang dilakukan oleh umat agama lain.”
Sebelum berpamitan, beliau memberikan pesan yang ditujukan kepada semua orang untuk setidaknya mengetahui tradisi apa saja yang ada pada agama lain agar bisa selalu menghormati dan menghargainya.