Merah senja kian meredup terbalut lembut ritmisnya gerimis. Beberapa jam yang lalu jarum-jarum putih turun ke bumi begitu lebat mengguyur perkampungan di seberang sungai. Tak ada makhluk yang keluar dari peraduannya. sudah biasa warga yang tinggal di seberang sungai ketika hujan turun, jalanan seperti bekas bajakan kerbau. Ya! Jalan di pekampungan tersebut belum mengkilat hitam, seperti jalan - jalan metropolitan, masih tanah dengan sedikit batu-batu kecil. Negeri ini sudah 70 tahun merdeka umurnya. Namun seakan tapak tilas Belanda masih melekat otonomi pemerintahan. Semakin dekaden, Jangankah membangun jalan, sekolah saja belum di jumpai di desa ini.
Senja semakin menghilang, bahkan cahaya malam yang dinantipun tak kunjung datang. Hanya cahaya kelam dari rembulan diselimuti awan hitam. Tak ada suara adzan meski waktu magrib telah tiba. Terlihat dua anak perempuan sedang menengadah tetes air hujan dari genteng rumah. Dengan terampil mereka basuhkan air itu ke beberapa bagian yang ingin di sucikan. Tak terbayangkan mereka hanya tinggal berdua di dalam sekat-sekat anyaman bambu yang sudah mulai rapuh dimakan panas dan hujan, beralaskan tanah hitam, dan beratapkan genteng yang acapkali kabur tertiup angin. “ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, kasihilah kami, di dunia ini tak ada yang menyayangi kami. Ayah ibu kami pergi meninggalkan kami entah kemana, Kasihi kami agar tetap hidup, dan bisa merasakan manisnya cahaya-Mu nan indah”. Seuntai kata yang selalu Sarah lantunkan sebagai penutup do’a tuk tapaki terjalnya hidup.
Ia pun terlelap dalam balutan angin malam yang berhembus menerobos celah-celah anyaman bambu. selembar tikar mampu membius Sarah dan adiknya dari rasa capek yang menghujam tubuhnya, setelah seharian bergerak bagai robot tanpa henti. Ia gadis berumur 15 tahun dan adiknya berumur 5 tahun. Mereka di tinggalkan kedua orang tanya. Ayahnya meninggal 3 tahun yang lalu. Setelah beberapa bulan ayahnya meninggal, Rasinah, ibunya. Tanpa tanggung jawab dan belas kasihan pergi meninggalkan mereka. “ibu mau pergi! Mungkin tak kembali kesini, ibu capek ngurusin kalian, tak ada untungnya. Jangan cari ibu! Urusi adikmu dan cari makan sendiri!” ucap Rasinah ketus ketika meninggalkan kedua putrinya. “ibu...??? jangan pergi, aku anak ibu”. Teriak Sarah pada ibunya. Ucapan itu terus merekat dalam memori otaknya, terpasung hati Sarah bila diingatnya.
Hatinya seketika sesak, mencoba melawan pukulan yang menghantam dirinya. Matanya menahan bendungan, namun kedua kelopaknya tak mampu menahan aliran air mata yang bersumber dari jeritan hati. Air hujan pun tak mampu samarkan air mata yang berlinang dipipi Sarah. Ingin ia teriakan segudang pengaduan dari ketidakadilan atas haknya sebagai anak yang masih membutuhkan pendidikan, serta kasih sayang dari sang surya yaitu ibu. ”Tuhan mengapa aku dilahirkan, jika hanya untuk di buang, mengapa ada kesedihan jika Engkau ciptakan kebahagiaan, kapan kebahagiaan itu bisa saya rasakan, bukankah engkau menciptakan kami dengan segenap kasihMu”. Celotehan hati Sarah dalam kegelisahan.
***
Alam yang romantis, matahari masih ragu menampakkan diri dari tempat persembunyiannya. Embun pagi masih memeluk erat dedaunan, pohon-pohon seakan menari terkena tiupan angin, burung hutanpun terus berkicau, membangunkan Sarah dari dunia mimpi. Masih pukul 05.25 ia bergegas mengambil air wudhu. Setelah sholat dinyalakannya api dari dalam tungku yang terbuat dari batu. Ia merebus singkong. “Rani? Bangun dek kakak sudah siapkan singkong untuk sarapan” ucap Sarah seraya membangunkan adiknya. “Kakak nanti kerja lagi?” tanya Rani dengan suara lirih. “iya dik, kalau kakak nggak kerja, mau hidup dengan apa kita nanti? Kalau kakak sudah punya banyak uang, nanti Rani bisa sekolah di Desa seberang” sahut Sarah sambil mengelus rambut adiknya.
Mayoritas masyarakat yang hidup di seberang sungai tersebut tak banyak yang mengenyam pendidikan. Lebih-lebih tamat SD, bisa CALISTUNG (membaca, menulis, dan berhitung) saja sudah beruntung. Hanya segelintir orang saja yang pernah sekolah. Maklum desa tersebut sangat sulit untuk mengakses pendidikan. Terpaut jarak sekitar 85 kilometer untuk menjumpai sekolahan, tak hanya jarak saja yang menghalangi mereka untuk mengenyam pendidikan, kondisi ekonomi lah yang paling menghambat hal tersebut.
Sejak pemerintah menerapkan kebijakan, “Wajib Belajar Sembilan Tahun” yang sekarang menjadi wajib belajar dua belas tahun, dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) kabar ini diharap mampu meringankan beban kaum populis khususnya bagi masyarakat pedalaman dalam mengenyam pendidikan. Namun slogan tersebut ternyata tak mampu mengobati para perindu pendidikan. Tetap saja terjadi kapitalisasi pendidikan. Hal itu mencekik masyarakat desa seberang sungai yang bermata pencaharian hanya sebagai buruh tani dari para pemilik tanah.
Segelintir masyarakat saja, yang bisa menempuh pendidikan sampai SMP di desa seberang. Itupun mereka kikir untuk mengamalkan ilmu yang mereka dapat. Mereka (lulusan SMP) memilih mencari profit dari pengalaman bangku pendidikan ketimbang membangun desa mereka yang di terpa keterpurukan dan perbudakan. Steatmen mereka (lulusan SMP) tak mau berbagi ilmu dengan Cuma-Cuma, walaupun hanya sekedar mengenalkan huruf kapital. Mereka sudah tertular virus yang menggerogoti jantung pendidikan selama ini.
Tak urung jika Sarah pun salah satu gadis (15th) yang tak kenal dengan “Pendidikan” hanya berhitung ia bisa, maklum kalau ada hubungannya dengan uang orang tak sekolahpun bisa. Ia hanya buruh keong. Ya, ia bekerja di salah satu orang terkaya di desanya, Pak Umar namanya. Ia mengambili keong-keong (siput) di sawah yang memakan tanaman pak Umar. Dengan upah yang tak seberapa ia dapatkan. Sore ini waktunya ia gajian, setelah selesai mengambili keong (siput) ia begegas ke rumah pak Umar. “Assalamualaikum” ucap Sarah di depan pintu dengan penuh harap. Tak lama kemudian, “waalaikumsalam. ya tunggu sebentar, Ayah sedang mandi, duduk saja di kursi”. Jawab perempuan(remaja) dengan nada agak tinggi. Perempuan itu tak lain adalah purti tunggal pak Umar yang sekolah di Desa seberang, sekarang usianya mungkin 15 tahun.
Sambil menunggu pak Umar keluar, ia duduk di kursi emperan. Terlintas di bayangnya. Ia sangat ingin sekolah, bisa membaca, menulis, dan nantinya ia akan ajarkan kepada sesama.ia ingin seperti anak-anak pada umumnya. Dibimbing ngaji orang tua mereka, tidak bekerja sebelum waktunya. Seharusnya di usia seperti Sarah mendapatkan kasih sayang, bimbingan, serta pendidikan yang nanti mampu menghantarkan ia menjadi orang yang sukses. Namun hal itu tak kan terjadi, kasih sayang, bimbingan, pendidikan yang ia angankan hanya sebatas impian yang kini terus menjadi pasung dalam hidupnya.