Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana dalam mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif untuk mengembangkan potensi dirinya sehingga peserta didik dapat memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan pribadi yang diperlukan untuk pengembangan diri dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Â
Selanjutnya, pada pasal 4 ayat 1 dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tersebut disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan dan kemajemukan bangsa.Â
Meskipun demikian, dalam Undang-Undang tersebut secara tegas mengatur tentang pemerataan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara untuk mengakses pendidikan. Kasus diskriminatif terhadap anak yang berkebutuhan khusus dalam dunia pendidikan kerap kali terjadi. Salah satunya, pernah terjadi di Sumatera Utara setidaknya terdapat 15 kasus diskriminasi terhadap anak dalam dunia pendidikan tersebut terutama yang berkaitan dengan penerimaan peserta didik baru maupun akses untuk belajar(Jailani, 2011 dalam Ikhwan, 2011).Â
Selanjutnya, di Kota Padang Sidempuan juga pernah terjadi peristiwa penolakan peserta didik yang memiliki keterhambatan fisik. Penolakan tersebut oleh pihak sekolah dilakukan berdasarkan pada surat keputusan Walikota.Â
Jailani(2011) menjelaskan diskriminasi yang terjadi di Sumatera Utara tersebut tidak hanya terjadi terhadap anak yang berkebutuhan khusus tetapi juga terhadap masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi keluarga yang tergolong rendah sehingga tidak diberikan kesempatan dalam mengakses pendidikan karena mahalnya biaya, terlebih untuk mengakses sekolah yang statusnya berubah menjadi Rintisan Sekolah Berstatus  Internasional(RSBI).
Agar pendidikan dapat dinikmati oleh setiap warga negara, pemerintah mengupayakan melalui kebijakan berupa Pendidikan Inklusi. Dalam kebijakan tersebut, setiap warga negara berhak untuk memperoleh pemerataan pendidikan tanpa memandang anak yang memiliki kebutuhan khusus maupun anak-anak pada umumnya agar dapat memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas. Sehingga, kesempatan untuk memperoleh masa depan yang cerah sangat terbuka lebar.Â
Setiap negara, tentunya memiliki strategi, metode atau cara yang bervariasi dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan inklusif (Stubbs, 2002). Hal ini dikarenakan setiap negara memiliki kebudayaan dan tradisi yang berbeda. Disamping itu, perbedaan pengimplementasian kebijakan ini juga terjadi ditingkat provinsi, kota atau bahkan antar satuan pendidikan sekolah.Â
Di Indonesia, pendidikan inklusi mulai diperkenalkan dan diimplementasikan sejak tahun 1980-an. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pengimplementasian kebijakan pendidikan inklusi ini yang diantaranya faktor budaya, politik dan sumber daya manusia(Kwon, 2005). Keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusi dapat dievaluasi dengan menggunakan suatu indeks yang disebut sebagai index for inclusion (Ainscow, Booth, Hawkins, Vaughan, & Shaw, 2002).Â
Dalam indeks inklusi ini dibangun berdasarkan tiga dimensi yaitu: (1) Dimensi Budaya(Creating Inclusive Cultures), (2) Dimensi Kebijakan(Producing Inclusive policies) dan (3) Dimensi Praktik(Evolving Inclusive Practices).Â
Dalam setiap dimensi nya memiliki dua seksi, untuk Dimensi Budaya terdiri atas seksi membangun komunitas(Building Community) dan seksi untuk membangun nilai inklusi(Establishing Inclusive Values). Selanjutnya, untuk dimensi kebijakan yang terdiri atas seksi pengembangan tempat untuk semua(Developing Setting for All) dan seksi melaksanakan dukungan untuk keberagaman(Organizing Support for Diversity). Terakhir, untuk dimensi praktik memiliki seksi belajar dan bermain bersama(Orchestrating Play and Learning) dan seksi mobilisasi sumber-sumber(Mobilizing Resources).
Dengan adanya kebijakan pendidikan inklusi ini tentunya pemerintah berharap agar dapat mencetak generasi penerus yang bisa menerima dan memahami segala bentuk perbedaan serta tidak melakukan perilaku diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat.Â