Mendengar kata “melaik” atau “culik” selalu dikaitkan dengan segala bentuk kriminalitas, namun di Lombok, NTB, terdapat sebuah tradisi yaitu penculikan terhadap gadis yang dianggap lazim oleh kaum Gumi Sasak Lombok. Hal ini sebagai syarat dan bentuk kejantanan yang harus dilakukan calon mempelai pria dalam meminang gadis pujaannya. Dalam menjalankan aksinya, calon mempelai pria tidak boleh ketahuan oleh pihak keluarga calon mempelai wanita.
Sebab jika seorang gadis yang dilamar secara baik-baik tanpa diculik, orang tuanya akan merasa tersinggung dan putrinya disamankan dengan barang yang tidak punya harga diri, ini disebut “ngelakok” atau “meminta". Karena itu , orang tua biasanya tidak pernah tahu kapan anak gadisnya diculik. Meski begitu, tidak mudah calon mempelai pria untuk melaik (menculik dalam bahasa Sasak) karena pihak keluarga calon mempelai wanita akan memberikan perlawanan, seolah tak rela anak gadisnya diculik orang. Terlihat bahwa dalam hal ini budaya kawin culik sangat menjunjung tinggi harga diri seorang wanita.
Teruna atau pria Sasak yang melakukan hal ini bagi wanitanya bebas memilih lelaki siapa saja yang meminangnya. Setelah gadis memilih satu diantara yang lain, kemudian terjadilah penculikan. Biasanya calon mempelai pria sudah membuat rencana atau perjanjian dengan calon mempelai wanita, dan bersifat rahasia guna menghindari kegagalan.
Apabila orang tua tidak setuju dengan lelaki yang dikehendaki wanita, biasanya para orang tua menyembunyikan anak gadisnya setelah mendengar selenting kabar bahwa akan diadakan penculikan. Sedangkan, syarat mutlak bagi seorang wanita adalah mereka yang berusia 16 tahun, baru diperbolehkan diculik. Selain itu, karena penculikan atau melaik anak gadis ini hal yang diperbolehkan oleh adat. Maka, perbuatan ini memiliki aturan main yang harus ditaati setiap pelakunya. Apabila terjadi keributan yang terjadi diluarketentuan adat maka teruna dan pihak keluarganya harus bertanggung jawab.
Ketentuan pertama, adalah Denda pati merupakan denda adat yang harus ditanggung oleh penculik atau sang keluarga penculik apabila penculik berhasil tetapi menimbulkan keributan dalam prosesnya. Kedua, Ngurayang yaitu denda adat yang dikenakan pada penculik gadis yang menimbukan keributan karena penculikan tidak dengan persetujuan sang gadis. Karena sang gadis tidak setuju dan penculik memaksa maka biasanya penculikan ini gagal. Ketiga,
Ngeberayang adalah denda yang harus dibayar oleh sang penculik atau keluarganya dikarenakan proses penculikan terjadi kegagalan dan terjadi keributan karena beberapa hal seperti penculikan digagalkan oleh rival penculik atau sebagainya. Keempat, Ngabesaken merupakan denda adat yang dikarenakan kepada penculik karena penculik dilakukan pada siang hari yang pada akhirnya terjadinya keributan.
Namun, pada zaman sekarang rata-rata tradisi “melaik” atau “culik” hanya dilakukan oleh segelintir orang kampung, apabila anak gadis yang pendidkan tinggi maka tradisi yang dilakukan adalah tradisi “ngelakok” atau “meminta” karena keluarga mempelai lelaki dan kelurga mempelai wanita dapat mendiskusikan seserahan yang harus disiapkan oleh calon mempelai lelaki. Apabila calon mempelai lelaki tidak mampu dengan keputusan keluarga mempelai wanita maka mempelai lelaki itu bisa mundur atau ditawar lagi sesuai dengan kemampuannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H