Mohon tunggu...
Zukhruf Fatul
Zukhruf Fatul Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

menulislah sebelum di tulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

BPK Sebagai Atmosfer yang Melindungi Keuangan Negara

19 Desember 2012   09:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:22 2895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Sebagai lembaga yang berdedikasi tinggi dalam melindungi serta menjaga stabilitas keuangan negara, dewasa ini Badan Pemeriksaan Keuangan Negara (BPK) semakin gencar menunjukkan hasil auditnya ke mata publik secara transparan dan secara legitimate agar diterima oleh masyarakat. Munculnya ekspetasi masyarakat yang mencuat oleh pemberitaan di media-media massa tentang kerugian keuangan negara yang mencapai milyaran rupiah termasuk diantaranya kasus century, hambalang dan kerugian pada daerah-daerah otonomi. BPK yang merupakan satu-satunya lembaga yang bertugas memeriksa keuangan negara, terus mengupayakan kinerja yang optimal secara sistematis untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Belakangan ini juga diketahui bahwa ada oknum pejabat pemerintahan yang melakukan manipulasi hasil audit laporan keuangan dengan penuh kecurangan, padahal Pelaporan keuangan yang mengandung unsur kecurangan dapat mengakibatkan turunnya integritas informasi keuangan dan dapat mempengaruhi berbagai pihak seperti pemilik, kreditur, karyawan, auditor, dan bahkan kompetitor. Implikasi lainnya juga dapat meredupkan percepatan pemberantasan korupsidan reformasi birokrasidi tanah air tercinta kita Indonesia. Menjadikan BPK sebagai atmosfer yang melindungi keuangan negara semakin terlihat, apalagi belakangan ini beberapa pejabat koruptor di pemerintah sudah mulai terkuak setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bekerjasama dengan BPK perlahan menyeka nafas mereka dalam melakukan tindakan korupsi. Antisipasi menjaga stabilitas keuangan negara lambat laun akan terwujudkan oleh BPK dengan kinerjanya yang mengupayakan independensi dalam mengaudit keuangan negara menjadi prioritas utama dengan melakukan integritas serta transparansi dalam menyampaikan hasil audit ke mata publik, semakin membuktikan perlindungan BPK terhadap keuangan negara seperti lapisan atsmosfer yang melindungi bumi untuk menghambat dan menghancurkan unknown object yang berusaha memasukinya. Dengan kinerja BPK yang seperti atmosfer ini sangat diharapkan oleh masyarakat karena dipercaya dapat menghambat dan menghancurkan tingkah laku para koruptor di negeri tercinta indonesia.

Pembahasan

Sejarah BPK RI

Badan Pemeriksa Keuangan (disingkat BPK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri. Anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, dan diresmikan oleh Presiden. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD (sesuai dengan kewenangannya).

Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang berkedudukan sementara di kota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR.

Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949. Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA).

Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor. Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945. Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR.

Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru. Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri. Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

BPK di era Reformasi

Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional. Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat. Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara yaitu, UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara; UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Ibarat pertumbuhan pada sebuah pohon yaitu semakin tumbuh tinggi menjulang keatas maka semakin kencang pula angin yang menghantamnya. Perumpaan ini juga terjadi dalam negara Indonesia ini karena di umur negara kita yang semakin dewasa maka semakin banyak masalah yang melanda negara kita khususnya di bidang birokrasi pemerintah yang semakin kalut. Politik dan korupsi memang sulit untuk dipisahkan bahkan ironisnya banyak pejabat pemerintahan dengan gampangnya mencoreng nama bangsa dengan korupsi yang dilakukan. Bukan hanya kasus-kasus korupsi dalam jumlah besar yang dilakukan oleh para pejabat kita bahkan oknum-oknum pemerintah daerah pun sudah leluasa melakukan tindakan korupsi di daerah kekuasaannya dengan melakukan laporan audit palsu untuk kepentingan korupsi. Perkara ini semakin membuat kalut birokrasi di negara kita. Bukannya menciptakan negara yang anti terhadap korupsi malah membuat indonesia sebagai surga bagi para koruptor dan menjadi neraka bagi yang anti terhadap korupsi. Seperti telah diketahui dan dirasakan bersama, betapa keji dan biadabnya perbuatan korupsi yang mengakibatkan terampasnya hak asasi ratusan juta rakyat Indonesia. Mulai dari hak memperolehpendidikan, kesehatan, sandang, pangan, papan dan sederet hak-hak lainnya yang harus dipenuhi oleh negara sebagai kewajiban mendasar terhadap rakyat dan warga negaranya. Hak rakyat dan warga negara dan kewajiban negara, gagal untuk dipenuhi dan ditunaikan karena tindakan biadab dari para koruptor.

Peran BPK dalam melindungi keuangan negara demi kemashalatan bersama sangatlah di butuhkan, upaya pemberantasan korupsi yang dilaporkan melalui KPK memberi dampak positif terhadap sirkulasi keuangan yang mengalir di indonesia. Eksistensi BPK sudah terlihat dengan terkuaknya kasus-kasus yang menyebabkan kerugian negara. Yaitu setelah menemukan hasil audit yang mencurigakan dan berdampak pada kerugian negara, BPK akan mencari akar permasalahan dari-dari tersebut dengan di bantu oleh KPK.

Peran BPK dalam melindungi keuangan negara dari tindak pidana korupsi

Adapun berbagai peran yang dilakukan oleh BPK untuk ikut memberantas korupsi dalam menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara. Peran yang pertama adalah untuk meningkatkan kualitas pemeriksaannya. Pemeriksaan BPK terdiri dari dua kelompok besar. Kelompok pertama, adalah berupa pemeriksaan secara umum (keuangan, kinerja, atau pemeriksaan lainnya). Kelompok kedua adalah pemeriksaan khusus secara internal yang ditujukan untuk mendeteksi terjadinya tindak korupsi melalui pemeriksaan investigasi dan pemeriksaan khusus (investigative and fraud audit). Pemeriksaan investigasi dan pemeriksaan khusus itu dilakukan oleh BPK mulai tahun 1999 berkenaan dengan pemeriksaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Laporan Pemeriksaan atas BLBI itu telah oleh BPK kepada DPR dan Kejaksaan Agung pada tanggal 4 Augustus 2000. Tindak lanjut Laporan Pemeriksaan BPK tersebut sangat lambat, baik untuk menghukum para pelakunya maupun para pejabat negara yang terlibat. Pelacakan pelarian modal periode krisis, 1997-1998, pun tidak pernah dilakukan, apalagi recovery-nya. Padahal, sangat mudah dan murah untuk melakukan pelacakan pelarian modal hasil korupsi dan BLBI itu dengan meminta daftar nama orang yang memindahkan uangnya keluar negeri pada periode itu yang disimpan pada tape computer beberapa bank devisa utama yang berkantor di Jakarta. Asal kita serius, penegak hukum negara lain pun bersedia membantu recovery hasil korupsi dan BLBI yang dilarikan dari Indonesia itu. Selama tahun 2005, BPK telah menyampaikan kurang lebih 14 temuan yang mengindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung dengan nilai temuan sebesar Rp2,9 triliun dan US$ 39,08 juta. BPK melaporkan secara khusus hal-hal yang diduga mengandung aspek kriminal kepada penegak hukum. Yaitu pada Kejaksaan Agung, Kepolisian maupun KPK. Penerima utama Laporan Pemeriksaan BPK adalah DPR tingkat nasional serta DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota. Ketiga tingkat DPR itu merupakan pemegang hak budget di daerahnya masing-masing. Laporan Pemeriksaan BPK juga dimuat selengkapnya di website-nya untuk dapat diketahui dan dikritisi oleh umum. Peran kedua yang dilakukan oleh BPK dalam melindungi keuangan negara adalah ikut mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Peran ini dilakukan BPK melalui partisipasi aktif dalam perombakan sistem administrasi keuangan negara yang sangat tidak transparansi dan tidak akuntabel selama masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, anggaran negara dalam masa Orde Baru dibagi dalam dua bagian, yakni anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Anggaran rutin dikontrol oleh Ditjen Anggaran sedangkan Anggaran Pembangunan dikendalikan oleh Bappenas. Anggaran pembangunan juga meliputi suplemen anggaran rutin seperti honor dan gaji maupun biaya perjalanan pelaksana proyek. Di samping anggaran resmi juga ada anggaran nonbujeter yang bersumber dari yayasan, dana pensiun, koperasi/badan usaha. Baik modal awal maupun kegiatan usaha instansi ataupun perusahaan satelit, ada hakikatnya, adalah bersumber dari induk instansinya. Tiga Paket UU di Bidang Keuangan Negara3 yang dikeluarkan tahun 2003 sampai 2004 telah memberikan design sistem akuntabilitas keuangan negara yang memadai. Tidak ada lagi pemisahan antara anggaran rutin dengan anggaran pembangunan sedangkan anggaran nonbujeter semakin ditiadakan.

Tiga UU tersebut ditambah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan telah merubah jenis dan format laporan keuangan negara, memberlakukan sistem akuntansi berpasangan, menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan terkomputerisasi, dan menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang. Sebagaimana telah disebut di atas, temuan oleh BPK selama pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004 menggambarkan bahwa sistem akuntabilitas keuangan negara yang diatur dalam ketiga paket UU tersebut belum sepenuhnya berjalan. Sebagaimana telah disebut di atas, BPK tidak dapat menyatakan pendapat atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2004 karena adanya kelemahan-kelemahan signifikan dalam sistem pengendalian internal serta ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam penyajian laporan keuangan tahun 2004. Beberapa temuan signifikan yang diperoleh BPK adalah belum berjalannya sistem akuntansi pemerintahan dengan baik. Dewasa ini, terdapat 957 rekening pribadi (termasuk yang sudah lama meninggal dunia) yang menyimpan uang negara dengan nilai sebesar Rp20,55 triliun. Berbagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan piutang negara lainnya yang tidak dilaporkan dan disetorkan ke kas negara. Contohnya adalah berupa denda pengganti hukuman yang dipungut oleh Kejaksaan Agung sebesar Rp6,6 triliun. Sudah menjadi pengetahuan umum dan ditemukan oleh pemeriksaan BPK berbagai penyelewengan atas penjualan tanah negara, royalti penambangan ataupun iruan hasil hutan ataupun dana pemeliharaan lingkungan oleh perusahaan pertambangan dan perkayuan.

Reformasi BPK

Hal ketiga yang dilakukan oleh BPK dalam meningkatkan peran sertanya dalam melindungi keuangan negara dari tindakan korupsi adalah melakukan reformasi dan membangun kembali lembaga itu. Tuntutan reformasi mengharuskan jajaran birokrasi BPK benar-benar mengelola tata pemerintahan yang baik dengan membangun prinsip akuntabilitas, transparansi, integritas, profesionalisme dan partisipasi khususnya dalam melindungi keuangan negara. Akhir-akhir ini, upaya-upaya pemerintah dan lembaga penegak hukum khususnya lembaga pemeriksa keuangan sangat berkomitmen untuk melindungi serta menyelamatkan keuangan negara dan menindak tegas aparat yang melakukan praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Guna mencegah dan membangun kepercayaan di tengah masyarakat, terhadap upaya-upaya tersebut BPK sebagai lembaga pemeriksa satu-satunya yang diamanatkan UUD 1945 perlu memberi pencerahan kepada publik tentang peran BPK dalam melindungi keuangan negara.

Reformasi BPK dimuat secara lengkap dalam Rencana Strategis 2006-2010. Sama dengan lembaga negara lainnya, BPK dewasa ini juga tengah mengalami proses reformasi. Reformasi tersebut terjadi akibat, pertama, dari perubahan sistem politik kita dari sistem otoriter Orde Baru ke sistem politik yang demokratis. Kedua, adanya perubahan dari sistem pemerintahan yang sentralistis pada masa Orde Baru ke sistem dengan otonomi daerah yang luas dewasa ini. Dalam sistem politik dan sistem pemerintahan yang baru itu, Pasal 23 E Perubahan UUD 1945 menuntut BPK untuk dapat memeriksa setiap sen uang negara darimana pun sumbernya, di mana pun disimpan dan untuk apapun dipergunakan. UUD 1945 dan UU No. 15 Tahun 2004 menugaskan BPK melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan ketiga tingkat pemerintahan. Pusat, provinsi dan kabupaten/kotamadya di seluruh Indonesia. Dalam segi kelembagaan, BPK berusaha untuk menjadi suatu lembaga pemeriksa yang benar - benar independen, bebas dan mandiri, sesuai dengan harapan UUD 1945.

Di masa pemerintahan otoriter, baik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, BPK berada di bawah kendali eksekutif. Kendali cabang pemerintahan eksekutif pada BPK tercermin dalam hal pemilihan anggota, pengaturan organisasi, karyawan, penetapan anggaran, pembatasan objek pemeriksaan dan penetapan metodologi pemeriksaan. Di masa itu, pemutahiran laporan pemeriksaan BPK dikonsuiltasikan dengan pemerintah agar tidak menganggu stabilitas politik. Setelah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, kini BPK baru memiliki kantor perwakilan di 14 provinsi dan 5 di antaranya baru dibuka tahun 2005 termasuk di provinsi besar seperti Jawa Barat dan Jawa Timur.

Kantor-kantor perwakilan baru itu menggunakan fasilitas yang sangat terbatas milik Pemda. Jumlah karyawan BPK hanya sepertiga dari karyawan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan kualitas pendidikan yang lebih rendah pula. Perubahan sikap, mental dan moral pemeriksa BPK merupakan kunci sukses perubahannya. Untuk itu dilakukan melalui empat cara. Cara yang pertama adalah menerapkan kode etik dan menegakkan aturan yang berlaku dengan lebih tegas. Sesuai dengan aturan dan kode etiknya, pemeriksa BPK tidak boleh mengungkapkan informasi yang diperolehnya dari pemeriksaannya kepada pihak lain di luar BPK. Pengungkapan laporan pemeriksaan dilakukan oleh BPK sebagai dan dan bukan oleh individu perseorangan ketua, anggota maupun karyawannya. Sebagaimana disebut di atas, adapun tatacara penyampaian dugaan perbuatan kriminal kepada penegak hukum. Pemeriksa BPK bukan whistle-blower karena informasi itu ia peroleh adalah semata-mata karena kewenangan yang diperolehnya secara hukum sebagai pejabat ataupun petugas BPK. Pengungkapan informasi tentang auditee sewenang-wenang kepada pihak lain adalah bagaikan seorang Pastor Katolik Roma yang menceritakan kepada pihak lain aib jemaah yang mengaku dosa kepadanya. Cara kedua adalah menjatuhkan hukuman, termasuk pemberhentian dengan tidak hormat, auditor BPK yang diketahui menerima uang suap dari auditee. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, BPK telah memecat karyawannya pada tahun 2005 yang terbukti menerima suap pemeriksaan Dana Abadi Umat, Departemen Agama. Cara ketiga untuk merubah moral pemeriksa BPK adalah dengan mengupayakan perbaikan penghasilan karyawan dan memberikan tanda jasa serta kenaikan pangkat dipercepat kepada auditor berprestasi. Dengan bantuan tambahan anggaran dari DPR dan pemerintah, mulai tahun 2005, BPK tidak lagi menerima dana pemeriksaan dari auditee. Mulai tahun 2006, penghasilan auditor BPK sudah dapat ditingkatkan sehingga setara dengan penghasilan karyawan Departemen Keuangan maupun BPKP.

Tambahan anggaran untuk modernisasi peralatan komputer, gaji dan pendidikan lanjutan di luar negeri maupun tenaga ahli untuk pendidikan audit investigasi serta fraud audit dan penyusunan rencana strategis diperoleh dari sumbangan organisasi internasional maupun berbagai lembaga pemberi bantuan asing. Cara keempat adalah dengan melakukan rotasi kerja di antara pemeriksa agar tidak sempat mempunyai hubungan emosional dengan

auditee yang diperiksanya.

BPK sebagai atmosfer di tata kelola keuangan negara

Sebagai otoritas pemeriksa yang melakukan perlindungan terhadap keuangan negara, BPK berwenang mengeluarkan peraturan terkait pemeriksaan keuangan negara, agar menguji dan mengambil sumpah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang melakukan pemeriksaan keuangan negara serta memeriksa hasil kerjanya. Secara teknis, BPK akan membina pengawas internal, termasuk Irjen dan Bawasda, yang menjadi mitra kerjanya. Pendelegasian wewenang seperti ini sangat penting karena selain tidak akan mampu, BPK pun tidak perlu melakukan sendiri audit semua lembaga dan organisasi pemerintahan, termasuk BUMN dan BUMD. Sebagian besar dari pekerjaan audit tersebut akan didelegasikan kepada KAP sedang BPK akan berkonsentrasi pada audit objek-objek pemeriksaan yang sangat penting dan strategis saja. UUD 1945 sekaligus memberikan kewenangan legislasi kepada BPK. Kewenangan quasi-judicial seperti itu memberikan kewenangan kepada BPK untuk menetapkan ganti rugi kerugian negara dalam hal pelanggaran administrasi keuangan negara. Menginat pemerintah Orde Baru sangat membatasi objek pemeriksaan BPK. Di masa itu, Bank Indonesia, Pertamina, bank-bank negara dan berbagai BUMN lainnya bukan merupakan objek pemeriksaan BPK. Tanpa seijin Menkeu dan Dirjennya sendiri, BPK tidak dapat memeriksa Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Demikian juga dengan BUMN yang sudah go public maupun yayasan yang terkait dengan kedinasan. Dewasa ini objek pemeriksaan BPK diperluas meliputi seluruh aspek keuangan negara, sejalan dengan amanat UUD 1945 dan Paket UU tentang Keuangan Negara yang telah disebut di atas. Mengingat luasnya objek pemeriksaannya dan terbatasnya kemampuannya, prioritas audit BPK dewasa ini diarahkan pada aspek pengeluaran dan penerimaan negara dan Pemda terpenting.

Sebagai atmosfer untuk menyelamatkan keuangan negara, Pemeriksaan BPK diprioritaskan pada objek-objek yang sangat membebani keuangan negara, seperti bank-bank pemerintah, Pertamina, Bank Indonesia, serta BUMN lainnya. Priotas kedua adalah pengeluaran negara yang rawan KKN, seperti pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah. Sebagai contoh, tidak mungkin Indonesia memiliki angkatan bersenjata yang tangguh jika dikorupsikan anggaran yang terbatas untuk membeli peralatan. Tidak mungkin prajurit mau mengikuti perintah komandan yang menilapanggaran kesatuan termasuk asuransi dan tabungan hari tuanya. Prioritas ketiga pemeriksaan BPK adalah sektor-sektor yang strategis bagi perekonomian dan penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti DepartemenPendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Pemukiman dan PrasaranaWilayah, Bulog dan Perusahaan Listrik Negara. Pada sisi penerimaan, pemeriksaan BPK diprioritaskan pada penerimaan pajak, penerimaan negara nonpajak, penjualan aset negara dan Pemda, termasuk divestasi aset PPA, dan tukar guling aset negara.

Kesimpulan

Tugas BPK dalam mengemban amanat yang dipercaya oleh negara sangat mumpuni dalam melindungi tata kelola keuangan negara sehingga menjadikannya under control di setiap pengawasan yang dilakukan oleh para auditor keuangan negara. Peran BPK sebagai atmosfer yang melindungi keuangan negara dari pelaksanaan tindak pidana korupsi jelas sangat terlihat karena BPK selalu menunjukkan hasil audit dari lembaga pemerintahan yang melakukan proyek-proyek dalam dana yang besar untukditunjukkan kepada media dan dapat disebarkan ke masyarakat secara terbuka dan lebih transparan. BPK juga telah melayangkan informasi kepada publik tentang pentingnya birokrasi dan masyarakat membangun transparansi, akuntanbilitasi, dan partisipasi terhadap pengelolaan keuangan negara dan daerah, sehingga peran BPK sebagai lembaga pemeriksa yang melindungi keuangan negara akan dapat mendorong birokrasi untuk lebih berhata-hati dan bekerja dengan taat azas guna menghindari kebocoran dan penyelewengan keuangan negara. Kita sebagai masyarakat sangat berharap agar kinerja BPK dapat terus memaksimalkan penggunaan keuangan negara sesuai dengan yang tertulis dalam ‘UUD 1945 tanpa adanya celah untuk para pejabat yang ingin melakukan tindakan korupsi di jajaran pemerintahan, karena pemerintah yang bijak adalah pemerintah yang amanah dalam mengemban tugasnya tanpa adanya korupsi yang mengalir di tubuh lembaga yang dipimpinnya. Besar harapan kami agar BPK tidak lagi kecolongan dalam melindungi keuangan yang mengalir di pemerintahan negara kita Indonesia dengan terus bekerja sesuai dengan kode etik yang telah disahkan oleh BPK, kami sebagai masyarakat berharap BPK agar bekerja semaksimal mungkin dalam melindungi keuangan negara, sehingga loyalitas dan kepercayaan kami terhadap BPK tetap menjadi prioritas utama yaitu sebagai atmosfer dalam melindungi dan menyelamatkan keuangan negara dari tindakan apapun yang merugikan keuangan negara termasuk diantaranya, korupsi kolusi dan nepotisme (KKN).

Referensi

1. Tjandra Wirawan M. HUM, Hukum Keuangan Negara, penerbit Grasindo, Jakarta, 2006.

2. Hendarshah Amir, Buku pintar politik: sejarah, pemerintahan, dan ketatanegaraan, Jogja Great Publisher, Yogyakarta, 2009.

3. Atep Adya Barata, Trihartanto Bambang, Pemeriksaan Keuangan Negara/Daerah, Penerbit PT. Elex Media Komputindo, kelompok Gramedia Jakarta, Jakarta, 2005.

4. Asshiddiqie Jimly, Konstitusi ekonomi, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta 2010.

5. Setijo, Panji, Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Penerbit Cikal Sakti, Bandung, 2007.

6. Pope Jeremy, Strategi memberantas korupsi: elemen sistem integritas nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2000

7. Agung Rai, I Gusti, Audit kinerja pada sektor publik: konsep, praktik, studi kasus, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2008.

8. Nurdiamann Aa, Pendidikan Kewarganegaraan: Kecakapan Berbangsa dan Bernegara, Penerbit Pribumi Mekar, Bandung 2007.

9. UURI No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Penerbit Pustaka Yustisia, Jakarta 2007.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun