Di ruang rapat yang penuh aroma kertas dan kopi basi, anak pemilik pabrik gula itu berdiri dengan wajah pongah.
''Kalau bukan karena nama besar kakekku, pabrik ini pasti sudah gulung tikar. Membuat pabrik itu susah, tahu! Coba kalian buat, pasti tidak sebesar ini.''
Setelah melempar ucapan itu seperti palu godam, ia keluar tanpa pamit.
Pimpinan cabang pabrik gula A menunduk, menatap tangannya yang mulai berkerut, bekas luka kecil di jari-jarinya mengingatkannya pada masa lalu. Ia pernah di posisi terendah, membangun pabrik ini dari nol bersama tim kecil yang kini terlupakan. Nama besar kakeknya? Ya, itu memang membantu. Tapi, apakah nama besar cukup untuk melawan gula impor yang terus membanjiri pasar
Apa yang membuat pabrik ini tetap berdiri? Nama besar, sistem, atau keringat kami yang tak pernah dihitung? Pertanyaan itu terus menghantuinya, seperti gema yang tak kunjung hilang
Pimpinan cabang itu tahu diri, semua kalimat keras yang dilontarkan oleh pemilik pabrik ditujukan kepadanya. Sejak anak pemilik pabrik itu kembali dari pendidikannya diluar negri, pimpinan cabang itu sering tidak sependapat dengannya.
Pimpinan cabang itu sadar betul, pendidikan anak pemilik pabrik lebih tinggi ketimbang dirinya. Pendidikan tinggi anak pemilik pabrik itu memang menjanjikan ide-ide baru. Tapi apakah ide-ide itu cukup tanpa memahami dasar-dasar yang telah menopang pabrik selama bertahun-tahun? Di sinilah pengalaman berbicara, pikirnya. Bukan sekadar teori dari buku atau gelar yang terukir di dinding
Pimpinan cabang itu kembali menunduk, menatap bekas luka di tangannya. Pengalaman mengajarinya satu hal: nama besar bisa menjadi berkat, tapi juga bisa menjadi beban yang menghancurkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H