Mohon tunggu...
Zuhdi Triyanto
Zuhdi Triyanto Mohon Tunggu... Operator - Tenaga Administrasi

Suka kopi apa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Pemilik Pabrik

14 Januari 2025   11:37 Diperbarui: 14 Januari 2025   11:37 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di ruang rapat yang penuh aroma kertas dan kopi basi, anak pemilik pabrik gula itu berdiri dengan wajah pongah.

''Kalau bukan karena nama besar kakekku, pabrik ini pasti sudah gulung tikar. Membuat pabrik itu susah, tahu! Coba kalian buat, pasti tidak sebesar ini.''

Setelah melempar ucapan itu seperti palu godam, ia keluar tanpa pamit.

Pimpinan cabang pabrik gula A menunduk, menatap tangannya yang mulai berkerut, bekas luka kecil di jari-jarinya mengingatkannya pada masa lalu. Ia pernah di posisi terendah, membangun pabrik ini dari nol bersama tim kecil yang kini terlupakan. Nama besar kakeknya? Ya, itu memang membantu. Tapi, apakah nama besar cukup untuk melawan gula impor yang terus membanjiri pasar

Apa yang membuat pabrik ini tetap berdiri? Nama besar, sistem, atau keringat kami yang tak pernah dihitung? Pertanyaan itu terus menghantuinya, seperti gema yang tak kunjung hilang

Pimpinan cabang itu tahu diri, semua kalimat keras yang dilontarkan oleh pemilik pabrik ditujukan kepadanya. Sejak anak pemilik pabrik itu kembali dari pendidikannya diluar negri, pimpinan cabang itu sering tidak sependapat dengannya.

Pimpinan cabang itu sadar betul, pendidikan anak pemilik pabrik lebih tinggi ketimbang dirinya. Pendidikan tinggi anak pemilik pabrik itu memang menjanjikan ide-ide baru. Tapi apakah ide-ide itu cukup tanpa memahami dasar-dasar yang telah menopang pabrik selama bertahun-tahun? Di sinilah pengalaman berbicara, pikirnya. Bukan sekadar teori dari buku atau gelar yang terukir di dinding

Pimpinan cabang itu kembali menunduk, menatap bekas luka di tangannya. Pengalaman mengajarinya satu hal: nama besar bisa menjadi berkat, tapi juga bisa menjadi beban yang menghancurkan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun