Semua orang yang punya sensitivitas yang tinggi juga akan dengan mudah menilai sistem itu buruk atau baik. Naryo memang tidak begitu jauh ngopinya. Pendidikannya tidak setinggi kepala desanya. Dia tidak biasa bicara dimuka umum. Tidak seperti kepala desanya yang bisa membius warganya dengan kalimat - kalimat yang menina bobokkan pikiran warganya.
Malam itu dalam kesunyian malam, Naryo duduk dibangku bambu. Suara jangkrik dan semilir angin membuat naryo masuk lebih dalam untuk melamun. Ia mengerti ketidakjelasan yang selama ini ada dalam siatem di desanya itu lambat laun akan menjadi bom waktu, dapat meledak kapan saja.
Dana pemerintah yang begitu besar untuk desanya hanya sedikit yang mampu digunakan untuk kepentingan umum. Yang lainnya entah untuk apa. Kegiatan yang selayaknya bisa menggunakan dana tersebut, warga masih harus iuran lagi. Selain itu sarana prasarana umum yang ada di desanya juga tidak banyak tersentuh.
Naryo paham, kepala desanya hanya mementingkan yang terlihat, atau yang bisa dibuktikan di media sosial. Akun Media sosial desanya memang begitu meriah berkebalikan dengan realitas yang ada. Naryo ingat di media sosial desanya selalu menampilkan bangunan-bangunan yang telah selesai dibangun. Dengan keahlian tukang foto profesional kepala desanya sangat sukses menampilkan titik yang paling bagus. Namun bagi Naryo itu pembohongan, bagaimana dengan keadaan jalan desa yang rusak, gedung olahraga yang tidak selesai, lalu parit-parit yang dibiarkan kotor.
Naryo bertanya dalam hati "sampai kapan ini berlangsung? Apakah memang harus menjadi pemuka, pemimpin atau orang yang berpengaruh dulu agar mampu merubahnya?"
Naryo masih bertanya kepada dirinya sendiri. Tapi pikirannya juga sadar bahwa ia punya relasi, tidak punya kemampuan menyampaikan pendapat, apalagi materi. Bukankah semuanya harus dibayar dengan materi?
Naryo memang dikenal sangat irit bicara, ia lebih banyak merenung dan membaca keadaan ketimbang bicara banyak hal. Maka ketajaman berfikirnya semakin hari kian bertambah. Ia merasa bahwa memang tidak cukup seorang pemimpin hanya bermodalnya fikiran. Tapi bagaimana mungkin bisa memimpin kalau tidak cukup cerdas.
Ah seharusnya pemimpin selalu mendengar kata orang-orang cerdas. Ia boleh kurang cerdas tapi tidak ada salahnya ia selalu mendengar saran dari orang - orang cerdas. Atau karena merasa pemimpin itu tinggi dan yang dipimpin itu rendah maka semua saran tidak mereka dengarkan?
Naryo menahan lamunannya, ia menyulut kretek yang sudah dibeli sore tadi di warung mbah gito. Kepulan asap dari kretek itu seakan seperti cita-citanya yang gampang hilang kena angin malam.
Tidak terasa Naryo melamun sampai hampir subuh, ia segera bergegas masuk rumah. Naryo baru teringat, habis subuh akan mengantarkan emaknya ke pasar menjual daun salam, jahe dan singkong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H