Mohon tunggu...
Zuhdi Triyanto
Zuhdi Triyanto Mohon Tunggu... Operator - Tenaga Administrasi

Suka kopi apa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pondok, Ilmu dan NPD

10 November 2024   08:51 Diperbarui: 10 November 2024   08:55 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai lulusan pesantren dan mempunyai wawasan yang luas dibandingkan kebanyakan orang, sudah sepantasnya aku mempunyai tempat untuk menularkan ilmu-ilmuku. Aku sudah berpengalaman dalam menjalankan pesantren, setidaknya dengan ikut dalam kepengurusan pesantren yang saat ini akan  aku tinggalkan.

Pesantren itu sudah tidak memberikan ruang dan jabatan kepadaku setelah beberapa kali usulanku tidak dikabulkan, padahal hanya aku yang punya visi yang jelas dan terukur. Dalam rapat terbatas dengan pengurus, aku seringkali berbeda pendapat, yang paling keras ketika rapat penentuan santri baru.

Aku berpendapat bahwa semua santri harus diterima di pondok ini, karena aku tahu pasti apa yang harus dilakukan agar pondok ini berkembang. Aku satu-satunya yang bisa membawa pondok ini maju. Mereka semua tidak sepakat dengan usulanku, padahal seharusnya mereka menyadari bahwa aku lebih tahu apa yang terbaik untuk pondok ini.

Aku merasa dipermalukan di depan mereka semua, dipandang seolah-olah aku tidak tahu apa yang sedang aku bicarakan. Padahal, jika mereka mau mendengarkan, pondok ini bisa berkembang lebih besar lagi. Tapi, mereka lebih memilih untuk terus menjalani rutinitas yang kuno. Aku... aku yang tahu jalan keluar, dan mereka tak melihatnya.

Aku merasa sudah saatnya dunia melihat betapa besar ilmu yang aku punya, tidak ada kata lain selain aku harus membangun pondok pesantren sendiri. Tepat setelah beberapa perenungan yang mendalam dan berkonsultasi dengan guru-guru sepuh. Mereka semua menyetujui angan-anganku, karena merekalah yang paham visi besarku.

Salah satu dari jawaban mereka kurang lebih begini.

"Bangunlah segera Pondok Pesantren dengan ciri khas sesuai keinginanmu, kamu sudah belasan tahun ada di dalam asuhanku, sebagai murid kinasih kamu tidak perlu ragu untuk melanjutkan cita-citamu"

Pesan dari guru sepuh itu jelas. Beliau tahu siapa aku--kapasitasku. Beliau tahu visi besar yang aku miliki. Dan Beliau memberikan dukungan penuh. Aku tidak perlu ragu lagi. Aku pasti bisa membangun pondok pesantrenku sendiri, dan kali ini, aku akan memastikan semuanya berjalan sesuai keinginanku.

Tahun pelajaran akan segera dimulai, pembuktian bahwa aku patut menjadi pemimpin pondok pesantren akan dibuktikan sebentar lagi. Mereka semua harus tahu bahwa tidak ada yang pantas menularkan ilmunya jika tidak memiliki kapasitas dan wawasan luas seperti aku.

Brosur sudah aku sebar ke seluruh kampung, media social sudah dibuat sebagus rupa. Meski asrama untuk sementara waktu menggunakan dua kamar dirumahku, tapi aku yakin warga yang sudah mendapat brosur akan berbondong-bondong memondokan ke pondok pesantrenku. Tidak ada persayratan khusus untuk masuk ke pondoku, yang paling penting mereka harus mampu membayar biaya yang aku tetapkan. Dari pengalaman yang sudah sangat luas, aku melihat bahwa semakin besar biaya pondok, maka wali santri akan semakin mantap dan tidak ada keraguan memondokan anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun