Ternyata pesan - pesanku masih disimpan rapi, menjadi sebuah pisau tajam yang menghujam tepat di dadaku. Dulu aku sempat bercerita bahwa aku paling tidak suka menahan bara dengan hanya memadamkanya lewat kata di chat, segala masalah harus kita bicarakan langsung bukan seperti orang njaman sekarang yang bersembunyi di balik layar ponselnya.
Sambil mengusap air mata kau melanjutkan kalimatmu
"Aku menunggu waktu ini, mas. Aku capek mas, aku capek dengan ketidakpastian kita, sementara orang tuaku sudah menagih untuk segera menikah. Aku selalu bilang mas, lamarlah aku sesegera mungkin, tapi kamu takut dengan bayanganmu sendiri mas. Aku capek, kita harus selesai hari ini"
Kata - katamu menggantung di udara, kali ini badanku benar - benar kedinginan, jawabanku yang semestinya keluar sudah hilang dibawa air hujan dan kesedihan. Selama ini aku memang takut dengan pikiranku sendiri, seperti laki - laki lain yang selalu memperhitungkan segalanya, apalagi dimata orang tuamu, aku harus sempurna. Memang benar katamu aku takut pada bayanganku sendiri.
Kau pergi begitu saja, meninggalkan luka, melipat rindu yang seharusnya dibuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H