Sudah 27 kali lebaran baru kali ini aku berkeliling kudus saat lebaran dengan mobil terbuka rame - rame. Sebelumnya aku selalu berdiam diri dikamar menikmati sepi biar terlihat anti mainstream. Jalanan ramai dengan mobil bak terbuka mengangkut sound dan pastinya anak kecil, remaja juga dewasa. Apasih yang dirayakan? Masih saja pertanyaan itu hadir dari awal perjalanan hingga balik lagi.
Ramai - ramai mengumandangkan takbir, seakan bersama - sama berteriak "hai kita menang, menang"
"Memangnya menang dari pertempuran apa?"
"Satu bulan menahan diri, menahan lapar, menahan haus, menahan amarah, menahan nafsu"
Sepertinya diriku saja yang sebulanan ini tanpa melakukan 'menahan'. Tiga puluh hari aku menjalaninya sangat biasa saja, tidak ada yang aku tahan, begitu juga dengan lapar dan haus. Tidur dari setelah saur sampai menjelang siang, siang sampai bedug magrip juga tidak lapar sedikitpun lha wong setengah hari tidur.
Menahan amarah?
Amarahku juga masih meledak - ledak seperti air yang meletup letup diatas kompor.
Ini alami sebab memang sebulanan ini tidak ada yang aku tahan, kemenanganku kemenangan semu, palsu. Jadi wajar jika merayakannya tanpa semangat.
Dalam perjalanan aku melihat toko - toko masih saja buka dengan biasa, indomaret, alfamaret apalagi. Lebaran adalah hari rayanya pedagang, semua barang dagangan apapun itu bentuknya laku manis. Tuhan Maha Baik.
Lebaran adalah hari raya orang perantauan, mereka merayakannya dengan pulang kampung, senang sangat dirasakan para pemudik. Ndilalah aku tidak melakukan ritual pulang kampung, sebab aku tinggal dikampung bapak ibu serta saudara semuanya dikampung.
Lebaran adalah hari raya anak kecil, mereka merasakannya dengan bertambahnya koleksi baju baru, uang saku dan liburan yang panjang. Lagi - lagi aku tidak termasuk didalamnya, umur sudah diatas 25 tahun, baju baru sengaja tidak aku tambah sejak tujuh tahun silam.
Aku masih ingin merayakannya dengan cara sendiri. Menghabiskan waktu kosong dengan merenungi setiap kejadian disekelilingku.