Judul: Mandi Cahaya Rembulan
Pengarang: Abdul Mutaqin
Penerbit: Salsabila, Pustaka Al- Kautsar Group
Tahun: 2013
Cetakan: I, November 2013
Jumlah Halaman: xxi+223 halaman
“Guru yang sedang-sedang saja memberitahukan. Guru yang baik menjelaskan. Guru yang ulung mendemostrasikan. Dan maha guru itu menginspirasi (William Arthur Ward)”.
Tentang Qori seorang pengajar di sebuah madrasah di kampungnya setelah ia lulus dari Madrasah. Walau statusnya sebagai guru honorer dia tetap berusaha untuk mengajar dengan baik serta peduli terhadap kondisi siswanya. Tak salah, begitu banyak murid yang senang dengan Qori. Selain dalam memberikan pelajaran, sebagai pengajar Qori pun mendapat pelajaran dari siswanya-siswanya khususnya dari Hanum, Maghfirah, dan Lastri. Dari mereka semakin meneguhkan Qori dalam pilihan hidupnya sebagai pengajar. Mungkin jika Qori tetap bersikeras untuk melepaskan dirinya sebagai pengajar, ia tak akan mendapatkan mutiara hidup dari anak-anak seperti hanum, maghfirah, dan lastri.
Qori yang awalnya sempat berpikir kecewa karena penghasilan yang diperolehnya sebagai pengajar tidak sebanding apalagi statusnya sebagai guru honorer yang hanya dihargai 35 ribu rupiah sebulan di bawah gaji buruh pabrik dan satpam komplek. Ia pun berpikir bagaimana ia bisa meneruskan kuliahnya dengan penghasilan sebesar itu? Jangan kan untuk meneruskan kuliah untuk mengganti sepatunya yang bolong saja ia harus bersabar dan mengumpulkan uang cukup lama. Namun berdasarkan nasihat dari ayahnya yang juga seorang guru: Seandainya setiap guru berpikir hanya karena gaji, maka siapa yang akan mengubah “gelap” menjadi “terang”, siapa yang akan membajak ladang pendidikan formal, siapa yang akan menyemai bibit-bibit intelektual, siapa yang bertanggung jawab menuntun setiap jiwa menuju kedewasaan. Jangankan manusia, cacing saja sudah ditentukan kadar rezekinya. Dari situlah ia kembali dibangunkan akan pikirannya mengenai gaji besar serta dari perkataan temannya bahwa guru sebagai pekerjaan istimewa dan hanya orang istimewalah yang sebaiknya menjadi guru. Ia pun tersadar dan semakin mantap melangkahkan kakinya menjadi guru.
Akhirnya karena cinta, Ia memilih profesi guru dan berusaha menjadi pendidik yang tidak hanya mendidik untuk mengasah otak, namun mendidik untuk menularkan kesadaran akan arti hidup dan kehidupan, memperkaya jiwa anak didik dengan nilai keluhuran serta dapat membangun kembali peradaban. Maka saat Qori mengajar selalu ada saja nilai-nilai agama serta hikmah yang disematkannya, tidak hanya kepada anak-anak didiknya namun Qori pun menjelaskan dengan santun kepada orang tua siswa mengenai nilai-nilai agama apabila itu memang harus diluruskan. Bagi siswa-siswanya, Qori bagaikan rembulan. Tidak hanya itu, bagi orang tua Lastri pun bertemu Qori segalanya menjadi terang karena telah membuka pikiran dan mengisinya dengan cahaya yang dulunya gelap. Hal itu tidak lepas dari doa ibunda Qori yang berharap agar Qori menjadi cahaya rembulan bagi kegelapan manusia sesuai dengan mimpi ibunda yaitu bermimpi melihat rembulan jatuh di atas genting rumahnya. Cahayanya menembus celah bilik bambu rumah. Inilah jalan sang guru cinta dan Tuhan tak pernah kehabisan cara untuk menjadikan sesuatu yang mustahil menjadi nyata.
“Keutamaan Orang Berilmu di atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan rembulan di atas seluruh gagasan bintang”
Novel yang ditulis oleh Abdul Muttaqin berdasarkan pengalaman nyatanya mengajarkan arti tentang kesederhanaan, pengorbanan, dan integritas seorang guru. Cerita yang disajikan ringan, mengalir dan menyentuh. Pada beberapa bab cerita dan akhir novel ini terdapat kata-kata motivasi untuk para pendidik agar semakin bersemangat, tulus, dan mencintai profesinya sebagai pengajar.
“Mendidik bukanlah mengisi ember, tetapi menyalakan api (William Butler Yeats)”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H