Mohon tunggu...
Zuhay Ratuz Zaffan
Zuhay Ratuz Zaffan Mohon Tunggu... -

Bermain, belajar, dan mengajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Hari-H untuk Aisha"

11 Februari 2015   18:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:26 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernahkah kamu berfikir bagaimana nanti kamu memilih mati?

Aku sendiri sudah memikirkan berbagai cara. Akhirnya aku sendiri menjadi ketakutan seolah-olah apa yang kulakukan membuatku akan mati.

Beberapa hari ini aku mengurung diri. Saat ini, dalam detik dan menit ini, aku sempat waras dan bisa menuliskan ini.

Beberapa hari yang lalu, aku ingat aku sempat berteriak histeris saat melihat wajahku sendiri di depan kaca. Yang kulihat tak hanya pantulan wajahku, tapi juga kejadian-kejadian yang akan menimpaku. Dan sejak saat itulah, aku memilih diam di kamar.

Beberapa sahabatku sangat mengkhawatirkanku dan mereka bahkan berusaha membawa kenalannya yang berprofesi psikolog dan psikiater. Kata mereka, aku depresi berat. Tapi menurutku sendiri, hm, entahlah! Aku sendiri rasanya tak sadar apa yang sedang menimpaku.

Ragam ketakutan dan prasangka hadir di kepalaku belakangan ini. Tapi muara seolah tak bisa lagi mendua kecuali aku memikirkan hal yang satu itu. Mati. Kata pendek nan tajam. Sebuah kata menghujam dan tetiba bisa hadirkan sakit atau kelu jika membayangkan hadirnya.

Ya, seolah mengucapnya saja kita butuh keberanian tanpa punya lagi ragu dan ketakutan itu sendiri. Aku kerap bermimpi melihat keranda kosong di depan rumah, padahal rumahku cukup jauh dari masjid dan mushala. Tentu kupikir ini adalah tanda, keranda akan menjemput siapa dari rumah yang hanya dihuni oleh sepasang suami istri dan dua orang anaknya? Ayah, ibu, kakak, atau aku?

*

Suatu hari aku tertidur selepas subuh. Aku dibangunkan oleh Kakak dengan nada yg tidak beraturan.

"Adeee, bangun!!! Bangun!!!

Hidayatun Aisha Zuamah, bangun!!!"

Sekilas matanya memerah sambil tangannya sibuk menekan nomor telepon berusaha menghubungi seseorang di ujung telepon sana.

"Ayah meninggal! Lekas kau bangun!"

Aku setengah sadar tak percaya, kucoba langkahkan kaki ke ruangan depan. Kedua mata ini bersaksi melihat para tetangga mengangkut tikar yang berisi jenazah lelaki yang paling kucintai. Rasanya baru tadi tengah malam menolak mengobrol dengan Ayah karena kantuk yang menghantui. Kini di depanku jelas terlihat wajah seorang petani idolaku terbujur kaku ... diam membisu.

Suara orang bicara berdengung-dengung di telinga. Pening. Aku memandang sekelilingku. Meraba dinding, lemari, sampai mukaku sendiri. Apakah ini nyata? Ataukah mimpiku memasuki babak yang lebih jauh? Jika ini mimpi, bagaimana caranya untuk bangun?

"Aisha!" Plak! Tamparan itu jadi penanda, apa yang terjadi memanglah nyata, pelan tapi pasti aku mulai sadar, ayah telah tiada. Anganku pergi jauh, mengingat saat itu, satu kesalahan berujung murkanya, murka ayah yang menyayangi anaknya.

*

Hujan menderai. Menyamarkan air mata yang menganak sungai. Aku berlari menerobos hujan, menolak peduli pada pemandangan barusan. Sungguh, aku tak pernah menyangka!

Sosok yang sedemikian tinggi kupandang, kuidolakan, ternyata ....

Air mataku meruah lagi, berlinang di antara hujan yang mengguyur bumi. Aku memburu langkah, berusaha berlari sejauh mungkin dari rumah. Masih teringat jelas di benakku, sosok ayah penuh darah dengan pisau di tangan dan seonggok mayat di hadapannya.

Aku tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Namun potongan-potongan gambar itu silih berganti berkelebat di dalam pikiran.

Darah, pisau, hujan, kematian ....

Potongan-potongan gambar itu bagaikan puzzle berserakan. Hmm, aku harus menyatukannya agar bisa terungkap hal sebenarnya. Aku tak mau selalu dihujani kematian seperti ini. Percuma berlari sejauh mungkin. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Aaaaahhh tidak ...

aku harus kembali pulang.

Pulang. Pulang .... Tapi kini kemanakah pulang yang sesungguhnya itu? Dimanakah rumah sebenar-benarnya rumah? Dimana tempat bermuaranya semua rindu? Dimana kelak semua cinta ini akan kembali?

"Di hatiku", sebuah suara membisik di telinga kiriku. Aku pun menoleh, "Kiyem?" Tangisanku pun kembali pecah dan terhempas di pundaknya. Ia datang di saat yang tepat. "Mari ikut aku, kau terjebak." Zakkiyem pun menuntunku berjalan. Tapi sepertinya ini bukan jalan menuju rumahku. Kemana ini?

"Akan kemana kita, Yem?", tanyaku pada Zakiyem. Aku mencoba untuk mengingat-ingat jalan setapak ini. "Ke sebuah tempat yang sudah kujanjikan pada ayahmu sebelum beliau meninggal," ucap Zakkiyem sembari tersenyum penuh arti.

Dia membawaku ke jalan yang tak biasa. Aku belum pernah melalui jalan ini. Tepi-tepi jalan dipenuhi pepohonan dengan daun-daun hijau segar. Hanya ada beberapa rumah di tepi jalan dan jaraknya berjauhan, dengan lingkungan yang begitu asri. Aku merasa seperti pernah melihat ini di dalam mimpiku. Zakkiyem memberhentikan mobilnya tepat di sebuah rumah putih besar berarsitektur Belanda, dengan halaman yang luas dan patung air mancur yang mengilap. Dia tersenyum lagi dan kepalaku sibuk bertanya-tanya.

"Dimana ini?", aku berbisik sambil melihat sekeliling. Zakkiyem berjalan menuju sebuah ayunan tua. Aku merasa familiar dengan ayunan itu, warna merah itu, merah darah. Zakkiyem lalu bermain-main kecil dengan ayunan itu, matanya memerhatikan ke sekeliling, layaknya seorang detektif. Tak lama kemudian, dia berkata, "Ini ... adalah tempat yang paling disukai oleh ayahmu. Beliau berpesan agar kelak kamu, aku, dan anak-anak kita menjaga tempat ini baik-baik."

"Benarkah? Aku sungguh tak bisa mengingatnya."

"Mari kita masuk!"

Zakkiyem menunjukan foto-foto keluarga, koleksi benda antik, dan sebuah pintu berwarna merah.

"Ini pintu yang tidak boleh dibuka. Apapun yang terjadi."

"Mengapa?"

"Entahlah. Ikuti saja aturannya. Kelak kau akan mengerti."

Kemudian aku menurut saja mengikuti Zakkiyem memasuki rumah. Dengan penuh rasa bingung sebenarnya apa yang ingin dia tunjukkan, dan juga penasaran ruang apakah yang tidak boleh dimasuki itu. Zakkiyyem kemudian membawaku ke lantai bawah tanah. Di sana terlihat ruang seperti perpustakaan kecil yang rapi namun berdebu lengkap dengan peralatan bekerja.

"Ini adalah ruang kerja "rahasia" ayahmu. Beliau sengaja tidak memberitahu keluarga apa pekerjaan sebenarnya, agar keluarganya aman".

"Kamu mengada-ngada, Zakkiyem! Jelas-jelas ayahku adalah seorang pegawai negeri. Kantornya aku tau dimana. Aku pun pernah melihat berkas-berkas kerja ayahku!"

"Itu kamuflase. Sengaja dilakukan ayahku agar keluarga tidak curiga."

Aku terperangah tak percaya. Tidak mungkin ayah yang luar biasa dekat denganku selama aku hidup ternyata membohongiku. Ini tidak masuk akal!

Aku semakin merasa sesak, entah karena ruang perpustakaan yang sempit ini atau karena berbagai kenyataan yg tertoreh di hadapanku. Semua sungguh menyesakkan jiwa dan pikirku. Apa ini? Apa yang terjadi? Siapa Ayahku sebenarnya?

Setumpuk pertanyaan berkelebat dalam kepalaku!

"Ishaa jangan melamun!"

Aku terhenyak mendengar suara lirih di belakangku, suara itu membuatku kembali pulang dari lamunan panjang. Tunggu....Isha...Isha...di dunia ini hanya ada satu orang yang memanggilku seperti itu. Dan itu adalah....

"A...ayah?"

Aku terkejut bukan kepalang, saat menengok ke belakang dan mendapati sosok ayah yang tengah memunggungiku.

"Ayah! Bagaimana mungkin, bukankah Ayah...Ayah sudah meninggal???"

"Isha...Isha maafkan Ayah!"

Ayah tak bergeming, tetap memunggungiku. Aku tak kuasa bergerak sejengkalpun. Ruang perpustakaan ini kurasai menjadi semakin menyesakkan. Dimana Zakkiyem?

*

Ayah telah kembali, kali ini dengan cangkulnya yang sudah dibasuh di aliran sungai dekat sawah dan sekantong plastik rambutan dari kebun.

Warna merah, benda tajam, rumah gedong, dan keinginan untuk menjadi orang kota menghampiri malam-malamku di meja belajar, sepertibermimpi ayah bisa menyekolahkanku sampai sarjana--dengan segala cara--membuatku rajin membuat skenario indah masa depan.

Zakkiyem, anak lintah darat, masih ada di sebelahku. Dia mengamati aku yang kusut dengan pilihan warna dan kata. Ayah kemudian menghampiriku, mengintip ceritaku dari balik bahu, dan menyeletuk, "Aku belum mau mati loh ya. Aisha, ini masih kurang buat hari-H nya, belom sip. Aisha harus nikah dengan orang yang tepat. Bukan dengan si anak tengkulak ini!"



[THE END]

Cerita ini hasil dari menyambung paragraf di Klub Menulis FIM

Kontributor Penulis “Cerita Hari H Aisha”:

1. Dek Ola

2. Kak Aisha

3. Teh Fira

4. Nana

5. Kuncoro

6. Memel

7. Zuhay

8. Aldi

9. Ibnu

10. Dedek Aichi

11. Shendy

12. Wahyu

13. Kak Zakky

14. Teh Nuy

15. Kak Rini

16. Neng Elis

17. Aa Bening

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun