Tak satupun orang di dunia ini yang senang jika hidupnya dibanding-bandingkan. Mereka akan mengutuk siapapun yang melakukan hal tersebut terhadap dirinya. Banyak di antara mereka yang akan berkata, “Aku ya aku. Dia ya dia,” sebagai wujud kekesalan. Pernyataan yang temperamental itu memang faktanya demikian: aku bukan dia, dia bukan aku. Pendek kata, plis jangan banding-bandingkan aku.
Melihat perihal itu, aku kemudian tertarik untuk mencoba mencari alasan kebanyakan orang tidak suka jika mereka dibanding-bandingkan. Sebelum kesitu, aku terlebih dahulu ingin mengutarakan mengapa harus ada fenomena perbanding-bandingan menurut pendapatku. Yaitu sedikitnya ada dua hal yang membuat seseorang membandingkan orang yang satu dengan yang lainnya: memang berbeda dan sengaja dicari perbedaannya.
Yang pertama adalah karena memang berbeda. Tentu saja dalam hal ini orang akan secara otomatis berprilaku membandingkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pasalnya, perbedaan ini nyata, mata bisa memandangnya secara gamblang kalau dua objek yang ada dihadapannya berbeda. Misalnya, usia, tinggi-pendek tubuhnya, kekayaannya, dll. Meski nampak beda dan kebanyakan orang sepakat itu, tetap saja orang yang dibandingkan tidak rela untuk dibandingkan.
Berikutnya adalah karena dicari perbedaan. Di sinilah seseorang menilai. Mereka membuat opini untuk dua objek yang mereka lihat dengan penilaiannya. Hasilnya, Si A lebih baik ketimbang Si B, misalnya. Nah, penyebab kedua pembandingan ini kental dengan muatan subyektifitas; senang, tidak senang, atau unsur-unsur lainnya.
Penggunaan bahasa dan kondisi saat berbicara mungkin perlu diperhatikan saat kita mencoba menjelaskan tentang perbedaan seseorang. Mungkin dua hal tersebut, bahasa dan kondisi, bisa sedikit membuat seseorang meng-iya-kan paparan hal-hal yang berbeda atas obyek tersebut. Adapun alasan seseorang tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang yang lain antara lain, menurutku, adalah:
-dia tidak lebih baik dari lawan yang dibandingkan
Maksud “dia” dalam pernyataan ini adalah mereka yang memiliki kekurangan ketimbang lawan yang dibandingkan, menurut orang yang membandingkan. Dan memang betul, siapa saja akan yang menyatakan hal senada jika dua obyek itu disejajarkan: mereka beda! Walaupun faktanya mereka tidak lebih baik, tetap mereka tidak menerimanya.
-merasa dirugikan
Seseorang membuat penilaian memang sekenanya, terkadang obyektif tapi tidak jarang juga subyektif. Saat penilaian yang seseorang kasihkan kepada kita, baik secara subyektif maupun obyektif, adalah mengenai kebaikan-kebaikan kita, dengan mudah kita akan menerimanya. Akan tetapi, jika penilaian tersebut merugikan kita, nilai negatif yang berimbas negative pula dalam kehidupan, entah penilaian itu subyektif maupun obyektif akan dengan semangatnya kita menolak. Kita berkoar bahwa apa yang mereka nyatakan adalah wujud kesalahan dan ketidaktahuan. Di sinilah perlu sikap arif dalam mensikapi penilaian negatif terhadap diri kita atau hal di luar diri kita.
-tidak suka dengan orang yang membandingkan
Kasus ini seperti halnya kasus ketika aku membenci pelajaran Matematika saat sekolah dulu. Padahal, pada dasarnya aku sangat senang dengan pelajar berhitung itu namun karena penyampainya adalah guru yang judes, killer, dan kerap ngasih tugas, aku menjadi tidak suka bahkan membencinya. Di sinilah, background orang yang membandingkan akan mengambil peran, apakah penilaiannya yang menghasilkan perbedaan itu diterima dengan baik atau justru ditolak mentah-mentah.
-orang lain tidak tahu siapa kita yang sebenarnya
Kebanyakan orang jika rapor yang keluar dari penilaian seseorang merah adalah akan berkata begini, “Mereka tidak tahu siapa aku sebenarnya!” Kalau sudah begitu, coba deh kasih tahu orang-orang yang membanding-bandingkan kamu (menilai negatife). Caranya, buat mereka mengatakan kamu pandai dengan bukti prestasimu, buat mereka menilaimu baik dengan prilaku yang kamu tinjukkan dalam keseharianmu, buat mereka mengatakan kalau kamu tidak pamrih saat membantu yang membutuhkan dengan terus membantu dan tanpa mengungkit-ngungkitnya. Sudahkah kita berbuat yang demikian? Sesuatu perilaku yang tanpa bicara akan membuat seseorang mengerti siapa kita sebenarnya.
-hatinya tertutup
Ini adalah sebab yang paling parah dan semoga kita tidak termasuk orang-orang ini. Yaitu, mereka orang yang tidak menerima kebenaran meski kebenaran itu datang dari sumber kebenaran yang terpercaya. Mereka sudah tidak menggubris meski dibandingkan dengan obyek lain (orang lain) meskipun dalam pandangan hukum yang dipakai dan disepakati mereka berbeda: lebih jelek, lebih negatif, lebih menyalahi aturan, dll. Hatinya tertutup menerima kebenaran. Hanya hidayah Allah yang mampu mengetuk dan membuka hatinya. Kita doakan tipikel manusia seperti itu: semoga Allah Mencahayai hatinya. Amin
In short,
Kecenderungan manusia adalah menerima dengan lapang dan senang hal-hal yang baik. Aku pribadi pun juga demikian. Namun kadangkala kita butuh mendengarkan orang lain yang membedakan kita, “Eh, dia lo lebih rajin ketimbang kamu: setiap malam belajar sampai larut malam dan tidak pernah meninggalkan Tahajudnya,” untuk koreksi diri dan memacu semangat. Memang pada dasarnya kita akan risih jika mendengar orang menilai kita dengan membanding-bandingkan dengan orang lain. Kita harus bijak menyikapinya. Sejenak perlu kita dengar apa yang orang lain tersebut tuturkan. Apabila penilaian itu benar dan justru apabila koreksi itu kemudian bisa membenahi prilaku yang kurang tepat, tentu output-nya akan berbeda dan lebih baik.
Semoga kita Dijadikan hamba yang pandai mendengar dan menilai.
Wallaua’lambishowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H