Mohon tunggu...
Trisno  Mais
Trisno Mais Mohon Tunggu... Penulis - Skeptis terhadap kekuasaan

Warga Negara Indonesia (WNI)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Kapitalisasi Perayaan Natal

23 Desember 2017   14:01 Diperbarui: 27 Desember 2017   17:51 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

                           Kapitalisasi Perayaan Natal

Oleh : Trisno Mais, SAP, Mahasiswa Pascasarjana Unsrat Manado

LAKON kerja-kerja kapitalis telah masuk dalam perayaan Natal. Cara merayakan misalnya, telah mengalami pergesaran mendasar. Natal telah dikapitalisasi. Bahkan, sudah pada fase di mana, natal ikut dieksploitasi pada hal - hal yang sifatnya seremoni. Konon, telah dijadikan gaya hidup. Soal ini, Natal seakan menjadi sebuah keharusan umat harus merayakannya dengan kemewahan; momen hias-menghias rumah, budaya konsumtif tumbuh subur, indivualistik apalagi! Bukan kah kita tidak menyadari bahwa pola hidup dan paradigma sejenis ini ialah cara - cara terdidik dari kaum kapitalis, mencari keuntungan sendiri?

Pun, umat ikut disuguhi dengan produk - produk kapital. Seakan dipaksakan untuk merayakan Natal yang konon katanya sakral ini, tak lebih dari jenis perayaan pesta besar. Ini terpola dan mengakar. Pada bagian lain, adalah harus memiliki persediannya finansial yang mumpuni. Di sini lah logika kapitalis dimainkan. Menjawab dan mengahadirkan tuntutan tersebut, umat disuguhi dengan barang-barang diskon. Umat penuhi toko perbelanjaan.

Kita keluarkan ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Kita mengejar diskon, belanjakan makanan, minuman dan busana baru. Kita tidak sadar diskon itu hanya cara kapitalis membujuk konsumen. Sangat tidak masuk akal, para kapitalis mau rugi. Kapitalis hanya bermain logika di atas kertas. Konsumen terjebak dalam permainan itu untuk memborong prodak kapitalis. Makin banyak kita beli makin tebal isi dompet kapitalis.

Rumah penuh dengan barang toko. Kita sajikan makanan dan minuman bagi keluarga dan tamu. Kita masak banyak, tidak mampu makan, penuh di tong sampah. Kita lupa kalau ada yang tidak makan. Terutama anak jalan, kaum miskin kota, para pengungsi dan korban perang. Seandainya yang masuk tong sampah itu diberikan bagi yang lapar. Kita pun sibuk mendekorasi rumah, hingga tak menyadari bahwa masih banyak kaum pinggiran yang tidak memiliki tempat tinggal. Tak hanya itu, busana baru kita miliki, namun ada yang tidak mengenakan pakain.

Bagi saya, Natal bakal lebih bermakna, jika kita berempati terhadap mereka yang pantas untuk mendapatkan uluran tangan. Saya cenderung berpikir bahwa, sudah kah kita membayangkan seberapa besar pemaknaan Natal yang telah diejawantahkan dalam keseharian hidup umat Kristiani, jika berbagi kepada mereka yang layak mendapatkan?

Natal Disandera oleh Materialisme

Berapa banyak biaya yang dikeluarkan setiap tahun hanya untuk merayakan Natal? Pasti banyak! Dan, pada posisi ini, sudah barang tentu jemaat yang adalah bagian dari gereja ikut bertanggunjawab. Misalkan, untuk menyiapkan setiap ketersediaan perayaan ini. Misalkan, biaya operasional untuk artis (nasional bahkan lokal) yang ikut didatangkan, serta konsumsi.

Kita ingin memiliki sebanyak mungkin materi dari yang sudah ada. Kita lebih mengutamakan atau menghitung jumlah materi perayaan Natal. Kita `mendewakan' materi daripada iman. Kita lebih sibuk menghitung jumlah materi dan memikirkan kualitas produksi. Kita lupa memupuk kualitas iman dengan menyisihkan atau menyerahkan materi yang berlebihan itu kepada yang betul-betul membutuhkannya. Kita merayakan dalam kemewahan namun nilai dan makna dari perayaan menjadi soal. Apakah kemewahan, materialism dan konsumerisme dapat memperkokoh iman dan penghayatan?

Ataukan kemewahan itu hanyalah upaya memuaskan diri sendiri, rakus dan menunjukan diri yang lebih hebat dari yang lain? Apakah kita pernah sadar konsumerisme itu bagian dari `penyakit' tidak sadar hasil kontruksi kapitalisme? Apakah kita memperkaya sang pemodal atas nama perayaan iman tetapi memperlebar jurang kaya dan miskin? Para kapitalis membujuk kita menyampingkan soal-soal iman. Kapitalis berhasil menciptakan kebutuhan, membawa kita hanya berpikir diri sendiri, memuaskan diri, menciptakan kebahagiaan dengan produk-produk ciptaannya. Kapitalis menciptakan kebutuhan dan kebahagiaan kita sehingga melupakan rakyat jelata, manusia yang tidak punya.

Kita berpesta pora sementara yang lain menderita, lapar dan membutuhkan perhatian kita. Kita bersenang-senang sementara mereka, sesama kita ada dalam ketakutan dan kekhawatiran. Apakah bukan untuk yang tidak punya, yang sederhana dan yang khawatir dan korban itu Yesus lahir? Kita telah melupakan Natal itu persoalan nilai dan iman. Kita sudah lari dari makna Natal yang sebenarnya. Kita pergi merayakan Natal kapitalis, menyuburkan kapitaslime dengan nafsu konsumerisme dan materialisme. Karena itu, kita mesti setuju ketika Paus Fransiskus mengkritik cara kita merayakan Natal. "Natal tersandera materialisme, yang diungkapnya dalam pesan Natal di Vatikan yang dilangsir BBC. Kapan kita berhenti merayakan Natal kapitalisme dan betul-betul merayakan Natal Imanuel? Rupanya makin sulit, Natal makin tidak bermakna dalam genggaman kapitalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun