Mohon tunggu...
Trisno  Mais
Trisno Mais Mohon Tunggu... Penulis - Skeptis terhadap kekuasaan

Warga Negara Indonesia (WNI)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gereja Jangan Main Politik Praktis

19 April 2017   03:24 Diperbarui: 19 April 2017   04:45 3249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aristoteles dalam bukunya, "Politics" secara ringkas mengatakan bahwa pada dasarnya manusia ingin selalu melakukan sesuatu yang baik dan secara natur manusia itu akan hidup dalam sebuah komunitas sosial. Aristoteles menyebut hanya dewa dan iblislah yang tidak membutuhkan sebuah masyarakat sosial. 

Dalam sebuah komunitas sosial, tentu akan ada kepentingan yang akan saling bergesekan. Untuk menghindari ini, maka Aristoteles mengatakan perlu untuk mengangkat seorang pemimpin dan hukum, dimana pemimpin ditentukan oleh natur dan takdir seseorang. Dalam melihat mekanisme ini, dimana Aristoteles lebih banyak menekankan masalah natur alamiah manusia, maka tak heran jika Aristoteles menyebut manusia adalah a political animal atau zoon politicon.

Jadi, menurut Aristoteles, politik itu adalah sebuah aturan, norma, atau sistem yang mengatur pola tingkah laku manusia sebagai individu dalam masyarakat sosialnya. Dimensi manusia yang begitu unik dan luas jika dibiarkan begitu saja, maka akan menimbulkan gesekan-gesekan yang membuat manusia itu sulit menemukan kebahagiaan (eudaimonai) atau kedamaian.

Defenisi ini dipertegas oleh pemikir-pemikir Eropa, pasca Revolusi Prancis. Revolusi Prancis bisa dikatakan sebagai titik balik pemikiran politik dari monarki menuju demokrasi. Rakyat Prancis sudah tidak tahan lagi dengan gaya pemerintahan Raja Louis XIV yang diktator dan suka berfoya-foya dengan menggunakan uang rakyat. Akhirnya rakyat Prancis marah dan menyeret Raja ke alun-alun kota dan memenggal kepalanya dengan guilotin. Itu puncak monarki diganti dengan demokrasi.

Locke, Hobbes, dan Rousseau, memang memiliki pemikiran yang berlainan tentang politik. Tapi setidaknya mereka punya kesamaan bahwa setelah zaman diktator, pemerintahan sebuah negara tidak lagi difokuskan pada satu orang, tapi disebarkan pada orang banyak, yaitu rakyat itu sendiri. Tapi rakyat juga harus merelakan hak individunya diatur oleh sebuah kepentingan bersama, yang biasa kita kenal dengan Undang-Undang, demi menciptakan hidup yang harmonis. Politik menjadi kontrak sosial antar individu dalam masyarakat demi menciptakan hidup yang damai.

Michel Foucault datang dengan sebuah pendekatan yang baru. Dia mengatakan bahwa politik sebenarnya berbicara tentang kekuasaan. Kekuasaan itu mencakup manusia, alam, lembaga, dan aparatur negara. Politik adalah dimana negara bertanggung jawab untuk mengatur ini semua demi kemajuan ekonomi masyarakatnya. Pemikiran Foucault ini terkenal dengan istilah biopower.

Jadi dapat disimpulkan, politik itu sebenarnya sebuah seni yang mengatur semua komponen dalam negara, baik itu benda mati dan hidup, demi sebuah cita-cita bersama yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dalam pengertian ini, politik itu bukan urusan segelintir orang saja, tapi juga urusan semua komponen yang tercakup dalam interaksi sosial sebuah batasan-batasan tertentu. Komponen yang dimaksud bisa individu, keluarga, organisasi tertentu, lembaga keagamaan seperti gereja, partai, mahasiswa, dan masyarakat itu sendiri.

Dikotomi antara agama dan politik itu harus. Pemisahan ini pun harusnya dipahami secara universal jangan secara menjadi parsial. Artinya agama dan politik pun harusnya dipahami secara kontekstual. Karena seyognya agama menghadirkan nilai-nilai kebaikan. Dan politik itu sendiri menjadi instruments untuk menggapainya.

Benar bahwa tujuan politik untuk mengapai kesejahteraan (konteks teoritis). Namun secara praktis terjadi kontradiktif. Konon menjadi relasi yang menimbulkan kompromi kekuasaan.

Agama (secara normatif: ideal imani) mengajarkan umat melakukan hal- hal baik. Bukan menjadi relasi institusi geraja atau kominitas tertentu dengan para elit.

Selain itu juga, agama kadung terlalu tertutup; salah penggunaannya bisa berwujud eksklusifisme ; liberalisasi rawan peniadaan terhadap pelaksanaan agama itu sendiri.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun