Pengemudi ojek, apa yang pertama kali anda pikir ketika melihat mereka? Angkatan kerja, sehat, mempunyai motor, bermain kartu, tidur-tiduran diatas jok motornya, bersenda gurau siang malam di pangkalan ojeknya. Apakah pekerjaan mereka dapat kita sebut pekerjaan? Kalau tidak, mengapa mereka memilih pekerjaan tersebut? Kalau ya, apakah pekerjaan mereka dapat memperbaiki kehidupan mereka dengan persaingan pengemudi ojek, yang dalam satu pangkalan bisa berjumlah sampai belasan bahkan puluhan.
Dengan illustrasi, satu pangkalan ojek mempunyai 10 pengemudi. Dalam 1 hari dengan hitungan 12 jam, pagi sampai sore, satu pangkalan dapat mengantarkan 20 penumpang yang rata-rata tarifnya Rp 10.000,-. Maka total penghasilan mereka adalah 200.000,-. Dibagi 10 pengemudi, masing-masing mendapat Rp 20.000/hari. Dua puluh ribu dikalikan dengan 30 hari, penghasilan bulanan mereka adalah Rp 600.000,-. Dari pola penghasilan seperti itu, dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa pengojek hidup dengan upah harian, yang dengan jumlahnya segitu, sangat sulit untuk hidup di kota seperti Jakarta.
Pengemudi ojek itu menjadi gambaran betapa melimpahnya pengangguran di Indonesia, karena secara kasat mata fenomena ojek ini tidak terbatas di Jakarta saja. Sangat disayangkan memang, angkatan kerja memilih mengojek lantaran lapangan pekerjaan yang ada tidak sanggup menampung mereka. Banyak contoh lain pekerjaan blue-collar lainnya seperti, tukang parkir liar, pengemis professional, tukang pukul, preman, pengunjuk rasa professional, bahkan anggota-anggota ormas yang sering membuat onar.
Lalu apa yang dipermasalahkan? Permasalahannya adalah, orang-orang yang mempunyai pekerjaan, yang notabene “tidak jelas” ini, adalah kelompok-kelompok masyarakat rentan untuk masuk ke dalam kategori underclass. Dalam teori sosiologi, underclass ini termasuk didalamnya orang miskin penerima dana kesejahteraan, kriminal/residivis, PSK, debt collector dll. Ekstrim memang, menyamakan merka dengan masyarakat underclass, tapi memang tanpa orientasi yang jelas, dapat dengan mudahnya tergelincir dalam golongan ini.
Pada kenyataannya memang, akhirnya banyak orang yang tergelincir. Kita ambil contoh bentrokan pada sidang kasus Blowfish baru-baru ini, secara kasar tidak mungkin seorang pekerja kantoran, rela meninggalkan pekerjaannya untuk membuat rusuh dalam peristiwa itu. Pastilah mereka yang “mempunyai waktu lebih” atau bahkan “mempunyai banyak waktu” yang menyebabkan kerusuhan.
Juga fenomena menjamurnya organisasi-organisasi masyarakat yang mencap dirinya menjadi watch dog sosial komunitas yang menjalankan aksinya dengan cara anarki dan melawan hukum. Tidak dengan statistik, tapi tidak sedikit dari anggota-anggotanya yang merupakan kelompok underclass. Kelompok underclass yang mencari sarana pembenaran sebagai pelampiasan tidak mempunyai pekerjaan tetap, sehingga merasa perlu mem-branding dirinya dengan atribut keorganisasian. Kasarnya supaya terlihat ada kerjaan. Hal ini menjadi berbahaya, karena dengan mudahnya seseorang dapat terkena doktrinasi-doktrinasi yang salah dan menjadi fanatik, yang disebabkan oleh masuk ke dalam suatu organisasi alasan yang salah.
Kita lantas pasti menyalahkan pemerintah dengan alasan tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi seluruh masyarakat pemerintah. Lagi-lagi yang berunjuk rasa untuk hal ini adalah kelompok masyarakat yang diatas tadi. Permasalahan menjadi semakin menarik ketika kita berpikir, apakah mereka yang pemalas? Apakah masyarakat melahirkan kelompok-kelompok underachiever? Pemakaian istilah pemalas atau underachiever disebabkan karena seharusnya dengan sempitnya lapangan pekerjaan, masyarakat harus kreatif yang positif dalam mencapai penghidupan yang layak.
Kelompok underachiever ini timbul karena antara lain, takut akan persaingan, kurangnya skill untuk ikut dalam kompetisi kerja, mental easy-money, menyerah/menyalahkan keadaan, pro status quo, rendahnya self esteem, tidak mengerti atau mengenal konsep kewiraswastaan/entrepreneurship. Alasan yang terakhir adalah modal kuat untuk menggugat pemerintah dalam ketiadaan lapangan pekerjaan. Sementara alasan yang lainnya lebih didasarkan kepada alasan behavioural atau masalah perilaku.
Jadi kesimpulannya apa? Pentingnya penanaman mental dan etos kerja yang baik, dan pengetahuan tentang kewiraswastaan dalam setiap pikiran masyarakat. Masyarakat yang ada sekarang berada dalam ambang generasi pemalas. Salah siapa? Tidak ada gunanya mencari, karena sudah sedemikian sistemik, menjadikan upaya tunjuk-menunjuk menjadi suatu tindakan yang sia-sia. Penting sekarang adalah upaya menjemput bola, mendidik karakter dalam kewirausahaan, dan menanamkan pikiran bahwa pekerjaan tidak selalu menjadi orang kantoran atau orang gajian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H