Sebagai salah satu ‘anak jaman sekarang’ yang tidak bisa melepaskan diri dari jejaring sosial, mau tidak mau saya harus memperhatikan fenomena yang terjadi di dalamnya. Hal menghebohkan ini sepertinya lepas dari pengamatan mayoritas, karena saat Anda ‘go global’, tampaknya sulit menaruh fokus kepada individu.
Daripada memperhatikan patologi sosial yang terjadi, lebih baik mengomentari yang mudah-mudah saja, misalnya mengenai ulat bulu (yang beberapa waktu lalu disebut salah satu stasiun televisi nasional sebagai cikal kupu-kupu, meski sayapnya melebar dan sebenarnya adalah ngengat). Terutama karena hal itu bisa dilakukan sebagai anonim.
Penyimpangan sosial berjamaah yang terjadi pada kaum-kaum yang terobsesi dengan slogan ‘mendekatkan yang jauh’ tidak diperhatikan oleh orang-orang sekitarnya, karena ternyata pola adiksi jejaring sosial menyebabkan yang dekat menjadi ‘jauh’.
Banyak sahabat yang tidak lagi saya kenal saat saya bercakap, karena yang bersangkutan lebih perhatian dengan bunyi dan getar dari perangkat selularnya dibandingkan bebunyian dari bibir saya. Mirisnya, kadang mereka baru bereaksi jika topik yang saya angkat dalam pembicaraan tersebut saya masukan ke dalam halaman jejaring sosial saya.
Celakanya lagi, arus informasi yang deras mengalir juga tidak dimanfaatkan secara optimal. Sebagaimana mereka menilai seseorang berdasarkan foto di halaman jejaring sosialnya atau melalui ‘status updates’-nya, mereka menanggapi informasi sesuai kulit luarnya saja. Media, yang mengetahui dengan baik bahwa mereka adalah pembentuk opini masyarakat, tidak membantu dengan membuat headline-headline berita yang kurang bertanggungjawab.
Saat ini saya tidak bisa membedakan kualitas headline antara news dengan infotainment. Ada dua kemungkinan yang terjadi : (1) kemerosotan intelektual, atau (2) kemerosotan etika di dalam dunia jurnalisme.
Contohnya, koran online X menulis di twitter-nya : “Presiden Menyinggung Kenaikan Gaji Dalam Pidatonya”. Koran online Z, tidak mau kalah mendapatkan jumlah retweet, menulis : “Presiden Mengeluhkan Kenaikan Gaji Dalam Pidatonya”. Nantinya koran ABC akan menulis, “Presiden Menyindir Agar Dinaikkan Gajinya”.
Ini seperti permainan pramuka saat saya masih SD, namanya “Kambing Congek” (congek = setengah tuli), yang membuktikan ketidakefektifan pesan berantai.
Anak-anak polos, yang sebenarnya sudah seusia saya namun kadar impulsifnya belum tereduksi usia, akan membaca headline itu saja. Dengan membaca pendapat mereka yang dipostingkan saja, saya tahu bahwa mereka tidak membuka halaman berita itu untuk membacanya secara utuh. Mereka menganggap, dengan membaca headline berarti berita sudah terserap.
Padahal headline semacam itu berbeda dengan headline “Gempa 5,8 Skala Richter di Daerah J Terjadi Tadi Malam”. Komunitas ini saya sebut dengan nama Generasi Headline. Kita menilai berita dari judulnya, menilai manusia dari halaman jejaring sosialnya; kita lupa pepatah “jangan menilai buku dari sampulnya”.
Saya sangat menghargai betapa frontalnya generasi masa kini. Kita sekarang berani bersuara. Terima kasih, Demokrasi! Terima kasih, Reformasi ! Namun perlu disayangkan bahwa pendapat-pendapat tersebut dilakukan nyaris tanpa pertimbangan.
Saya percaya di luar sana banyak anggota generasi saya yang pintar, sayangnya hal itu tidak dimanfaatkan. Postingan asal cuap itu adalah bukti menyedihkan bahwa generasi saya mungkin hanya menggunakan 6% kemampuan otaknya, meskipun penelitian menunjukan bahwa, normalnya, manusia menggunakan 10% kemampuan otaknya.
Think before you POST !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H