Saya sudah lima tahun jadi mahasiswa, alhamdulillah, sehabis ini juga masih mau jadi mahasiswa. "Aku ingin kuliah 1000 tahun lagi", kata situs f*ckyeahmahasiswa. Â
Pengabdian saya terhadap masyarakat sejauh ini selalu selaku individu, bukan benar-benar memberi sumbangsih saya sebagaimana layaknya mahasiswa, melalui misi-misi akademis. Â Kalau seandainya tulisan saya di sana-sini semacam ini dinilai sebagai sumbangsih kepada masyarakat, yah, saya hanya bisa berkata : "Alhamdulillah yah, sesuatu banget."Â
Dulu, waktu saya masih baru lulus dari status anak sekolahan, saya mula-mula diterima di sebuah kampus swasta prestisius, kampusnya Pahlawan Reformasi. Â Dulu saya bangga sekali, merasa menjadi bagian dari orang-orang hebat itu, mahasiswa. Â Lebih bahagia lagi, setelah pengumuman SPMB, saya masuk universitas negeri yang prestisius. Â Saya terutama berbahagia karena menjadi mahasiswa bersubsidi, kuliah murah jangan ditolak. Â
Setelah jadi mahasiswa, kok saya belum mendapatkan rasa itu, rasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar, sesuatu yang hebat; mahasiswa pejuang. Â Yang saya temui malah sekumpulan anak muda yang skeptis terhadap lingkungannya, dan mengurung diri di menara gading yang mereka sebut dunia akademis.Â
Selama bertahun-tahun saya merasa hal itu tidak apa-apa, dan berpikir bahwa KKNM selama satu bulan sudah menebus kegagalan berbakti saya selama tiga tahun sebelumnya. Â Ramadhan kemarin, iseng-iseng saya membaca koran lama, ada sebuah artikel yang ditulis seorang mahasiswi universitas terkenal di kampung halaman saya. Â
Isi tulisannya lumayan rutin, mempertanyakan kemana gerakan mahasiswa dan mengapa semua perjuangan berhenti setelah 1998. Â Saya sudah lama memiliki jawaban untuk pertanyaan ini, yaitu sistem pengkotak-kotakan jadwal kuliah yang mempersempit kesempatan bertemu silang angkatan. Bahkan untuk bertemu sesama angkatan pun sulit. Â
Kebebasan organisasi pun dibatasi, dosen tidak lagi memegang wewenang dalam administrasi, kesempatan untuk membuat gerakan menjadi sulit. Belum lagi media yang terus mencekoki kita dengan berita-berita yang mengguncangkan iman terhadap idealisme masa muda. Sudah skeptis, ruang gerak pun dibatasi ... derita mahasiswa ternyata tidak hanya terbatas pada membayar uang parkir tempat fotokopi sebesar 1000 Rupiah setelah memfotokopi 5 lembar modul seharga 500 Rupiah.Â
Yang menampar saya adalah, si penulis menyalahkan ini kepada sikap mahasiswa yang dinilai bersembunyi di balik menara gading, sedangkan seharusnya mahasiswa adalah pembawa informasi yang relatif paling mudah untuk mendekati masyarakat. Â Saya setuju dengan beliau ini. Â Sayangnya, beliau ini juga tidak mengamalkan kata-katanya sendiri. Â
Di dalam tulisannya sendiripun dia masih membawa menara gading itu, membentengi ilmu yang ingin dibagikannya dari rasa ingin tahu masyarakat dengan kosakata level dea. Tulisan saya di sini, ingin mengingatkan para mahasiswa di luar sana. Â
Coba mbok ya, kita ini masih muda, makanya dianggap bisa menjadi agen humas dunia akademis kepada masyarakat dan mengikis kebodohan massal. Â Jangan menyuapi informasi baru kepada masyarakat dengan bahasa yang sulit mereka pahami. Â Nyantai-nyantai saja, sobat. Â
Wibawa mahasiswa ada bukan karena jaket almamaternya, apalagi kata-kata sulit yang digunakan, tapi karena pembawaan kita dan ilmu yang kita bagi. Â Gunakan bahasa dan konsep yang mudah diserap oleh masyarakat banyak, dengan demikian, peran serta kita dalam membocorkan kisi-kisi akademis kepada masyarakat akan jadi lebih mudah.Â
Mahasiswa, kembalilah membanggakan bangsa. Â Saya maluuuuu mendengar kisah tawuran mahasiswa yang terjadi baru-baru ini, dan hal tersebut terjadi di hari paling sakral dalam sejarah akademis: WISUDA. Â Ayolah, wibawa tidak dapat kita raih dengan tinju.Â
Salam mahasiswa !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H