NOTE : Â Saat mencari gambar untuk artikel ini di Google, saya menulis keyword "Anak SMA", dan hasil yang saya dapat adalah gambar-gambar tidak senonoh, seolah membenarkan keadaan yang akan saya tulis di bawah ini.Â
Postingan ini tidak membahas teman saya yang bernama Kartini, postingan ini tidak mempersoalkan siapa pun yang bernama Kartini. Â Nama Kartini disini disebut adalah karena nama beliaulah, Ibu Kartini, yang disandangkan pada tiap-tiap wanita di negeri ini. Â Kita semua, dalam tulisan ini, adalah Kartini.Â
Baru kemarin saya menemani adik saya, semester 2 di fakultas dan universitas yang sama dengan saya, membeli majalah. Â Majalah remaja biasa, yang dulu juga saya sering baca, isinya kurang lebih mengenai selebriti internasional, cara berpakaian, cara berdandan, zodiak, dan sebagainya. Â Saya sendiri, semester akhir, mulai beralih ke majalah yang lebih dewasa yang menurut saya memang kontennya lebih sesuai dengan umur saya. Â Karena majalah saya lebih mahal, saya mengalah dan membeli satu majalah saja, pilihan si adik. Kami bergiliran membaca. Â
Saya terutama senang membaca rubrik-rubrik konsultasi, dengan membacanya, saya tahu masalah-masalah yang terjadi di generasi yang umurnya sudah agak lama saya tinggalkan, namun belum saya lupakan. Â Alangkah tercengangnya saya, di rubrik konsultasi seksual banyak yang menanyakan kesiapan melakukan seks. Â
Hal ini sangat berbeda dengan zaman saya, rubrik konsultasi seksual biasanya hanya seputar menstruasi, pacar yang berlebihan (namun tidak sampai kepada hubungan seksual), mitos-mitos kegiatan seksual, dan lain sebagainya; yang menurut saya menandakan penasarannya anak muda yang BELUM melakukan seks. Konsultasi ini dilakukan oleh remaja-remaja yang belum menginjak umur kepala dua. Â
Salah satu konsultasi ini dilakukan oleh belia berumur 18 tahun, dia mengatakan bahwa selalu merasa tidak siap melakukan seks, dan khawatir ini merupakan sebuah kelainan. Sejak kapan seseorang berumur 18 tahun merasa memiliki kelainan saat belum mampu melakukan hubungan seksual ?? Saya teliti lagi, surat-surat ini berasal dari remaja berumur 16-18 tahun. Â Miris sekali.Â
Lebih gilanya lagi, berbeda dengan majalah remaja wanita di jaman saya yang biasanya menyarankan seks pasca-nikah, majalah ini menyarankan agak si pembaca menanti kesiapannya, di saat yang sama memberi lampu hijau kepada seks pranikah, asalkan dilakukan dalam keadaan siap. Â Kegilaan macam apa ini ? Â Mau jadi apa bangsa ini apabila medianya sendiri tidak mampu mendidik ?Â
Media seharusnya menjadi salah satu wahana pendidikan yang kredibel. Â Kala saya remaja, media cetak menggalakkan kesadaran bahaya seks di luar nikah, mendekati remaja dengan cara se-'gaul' mungkin, berusaha membentuk kami menjadi remaja 'gaul' tanpa harus digauli. Â Namun saat ini nyatanya semakin banyak majalah remaja yang menjual artikel terkait seks demi omzet yang lebih tinggi. Â
Artikel tips-tips berciuman saja saya pikir tidak pantas dipajang di cover majalah, namun nyatanya itu yang terjadi. Â Apabila artikel ini ada di majalah yang memang menyatakan bahwa target pembacanya adalah orang dewasa, maka saya tidak akan merasa semarah ini. Bagi anda yang merasa orangtua, ini saatnya menyortir majalah kesukaan remaja di rumah anda. Â Â
Didik Kartini-Kartini jaman saya untuk tidak terjebak dalam manipulasi kapitalisme; ajari mereka untuk beremansipasi, membebaskan diri dari peer pressure yang hanya merugikan diri. Â Kita boleh beremansipasi, kita boleh bebas, tapi bukan kebebasan dengan kebablasan semacam ini yang dicari Ibu Kartini.Â
Selamat Hari Kartini, Remaja Indonesia.