Kiranya cuma ada di Indonesia saja kata “menuntut ilmu”. Di negara lain yang saya ketahui hanya ada belajar. Walaupun kata tersebut sering muncul dalam nasihat dan lakon sastra, akan tetapi saya tergelitik untuk menjadikannya wacana. Sejak kapan ada kata “menuntut” dalam ranah pendidikan saya juga belum mendapatkan informasinya secara jelas. Kenapa harus ada tuntutan? Di lain waktu akan saya coba telusuri dan pekerjaan rumah bagi saya. Sekarang ini mari kita coba memahami sesuatu di balik frasa “menuntut ilmu”.
Sekilas perjalanan bangsa dalam pendidikan
Sejarah pendidikan di Indonesia telah dimulai sejak masa kerajaan di Indonesia (Nusantara), baik pada masa kerajaan Hindu-Buddha maupun pada masa kerajaan Islam. Ingatlah bagaimana Sriwijaya, Mataram, Majapahit dan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara menjadi pusat aktivitas pendidikan bangsa-bangsa lain di dunia, center of excellence: religi, sastra, bangunan, teknik bangunan dan lain-lain. Bangsa ini pernah berjaya selama ratusan tahun. Berbanggalah!
Seiring dengan perjalanan waktu, bangsa Barat mulai mengintervensi dan ikut campur tangan terlalu jauh terhadap bangsa ini, terhadap isi kekayaan alam di seluruh kepulauan negeri ini, merombak tatanan yang telah ada dan diyakini. Sungguh kearifan lokal bangsa ini telah dirampas, dan kebaikannya telah dimanfaatkan. Dalam politik pendidikannya, Belanda tidak memperlihatkan demokratisasi karena tidak semua orang diberi kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama di bawah kebijakannya. Bangsa ini terdikotomi secara sosial yang dibiasakan dan dibudayakan selama berabad-abad.
Saya meyakini, kesadaran bahwa bangsa ini pernah menjadi bangsa yang adiluhung sebagai pusat studi yang akhirnya terdikotomi inilah yang memunculkan spirit untuk menuntut, merebut kembali pendidikan yang menjadi hak, yang menjadikan bangsa ini tersohor seantero dunia. Bangsa ini harus bangkit. Itulah yang ingin disampaikan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan rekan lainnya di STOVIA (sekolah dokter Jawa) sebagai cikal bakal Budi Utomo. Keutamaan sebuah budi, kemajuan bangsa yang harus dicapai melalui penguasaan ilmu. Banyak organisasi kebangsaan yang sadar akan hal ini lalu mencurahkan kegiatannya pada pendidikan. Sebut saja Muhammadyah dan Perguruan Taman Siswa.
Belum selesai beliau-beliau memantapkan sistem pencerah kehidupan, datang bangsa Jepang yang memorak-poranda kembali sistem pendidikan. Hampir tak terlihat ajang keilmuan di sana, tetapi pendidikan lebih diutamakan kepada latihan fisik dan hal-hal yang dapat menunjang kepentingan perang melawan sekutu.
Syukurlah penderitaan bangsa yang lebih berat dari penguasa sebelumnya tidak berlangsung lama. Kemudian bangsa ini kembali mengumpulkan keping demi keping spirit kepedulian terhadap pendidikan yang ditetapkan dalam pasal 31 ayat 1 dan 2, UUD 1945. Ayat 1) Tiap warga Negara berhak menerima pendidikan dan pengajaran. Ayat 2) Pemerintah berusaha mengadakan suatu pendidikan nasional yang diatur oleh undang-undang. Sudah sejauh manakah usaha pemerintah di bidang pendidikan? Saya kira kita semua punya jawaban masing-masing.
Menuntut ilmu:Benarkah?
Kembali kepada kata “menuntut ilmu”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menuntut atau tuntut adalah 1) menagih dengan keras (setengah mengharuskan supaya dipenuhi), 2) menagih (utang), 3) menggugat (untuk dijadikan perkara), 4) berusaha keras untuk mendapatkan. Inilah arti yang utama dalam kata ini. Sedangkan kata ilmu di dalamnya adalah 1) pengetahuan yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidangnya. 2) pengetahuan atau kepandaian.
Dari jabaran di atas, frasa menuntut ilmu bisa jadi berarti:
-Menagih dengan keras pengetahuan yang disusun secara sistematis
-Menagih dengan keras pengetahuan atau kepandaian
-Menagih janji pengetahuan yang disusun secara sistematis
-Menagih janji pengetahuan atau kepandaian
-Menggugat agar jadi perkara atas pengetahuan yang disusun secara sistematis
-Menggugat agar jadi perkara atas pengetahuan atau kepandaian
-Berusaha keras untuk mendapatkan pengetahuan yang sistematis
-Berusaha keras untuk mendapatkan pengetahuan atau kepandaian
Saya – begitu juga lainnya – yakin bahwa yang dimaksud dari frasa menuntut ilmu adalah makna jabaran terakhir. Akan tetapi bukan berarti ketujuh jabaran makna lainnya langsung hilang begitu saja. Apalagi menengok sejarah Nusantara yang pernah menjadi pusat ilmu dan banyak kekayaan alamnya yang telah dirampas. Sah-sah saja apabila kita mengartikulasikan, “kita harus merebut kembali kearifan lokal kita yang agung dan digdaya”, atau “mereka sudah merampas kekayaan alam, kini kita saatnya menagih atau menggugat agar kita dapat dimudahkan belajar di negara mereka”, dan pendapat lainnya.
Ada semacam dendam, ambisi, ketergesaan dan makna lain yang berhubungan dengan ego di balik kata tuntut. Padahal, ilmu perlu didapatkan dengan cara ilmiah dan empiris berdasarkan pengalaman untuk mendapatkan kesimpulan. Menurut saya, untuk mendapatkan ilmu cukup dengan satu kata: “belajar”. Oleh karena itulah ada pepatah yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik. Hal ini membuat bagaimana kita dapat belajar.
Ilmu adalah obyek. Yang kita perlukan adalah menempatkan kata kerja yang cocok agar obyek tersebut dapat kita raih dan kita gunakan untuk mencerahkan dan membuat budi pekerti menjadi luhur kembali. Selamat belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H