Penguasa negeri menjual BBM (hasil tambang) kepada rakyat dengan harga tinggi
Pada akhirnya penguasa negeri menempuh cara yang mudah untuk meningkatkan penerimaan negara namun menyengsarakan rakyat dengan menjual BBM (hasil tambang) kepada rakyat dengan harga tinggi.
Hasil penjualan tersebutlah tampaknya untuk membiayai pengeluaran negara seperti pengeluaran karena kebijakan populis atau kebijakan “kartu” yakni “kartu Indonesia pintar” , “kartu Indonesia sehat” maupun “kartu keluarga sejahtera”
Padahal banyak cara untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa menyengsarakan rakyat sebagaimana kebijakan menaikkan harga BBM seperti dengan meningkatkan produksi BBM atau dengan menekan pengeluaran negara seperti membangun kilang minyak atau mengatasi mafia minyak dalam urusan impor MIGAS maupun transportasinya karena yang disebut mafia adalah makelar yakni G to B (Government to Business). Seharusnya pemerintah melakukan deal langsung G to G (Government to Government)
Cara lain meningkatkan penerimaan negara tanpa menyengsarakan rakyat sebagaimana kebijakan menaikkan harga BBM adalah memperbaiki kontrak kerjasama dengan kontraktor nasional dan asing yang bersifat adil, bermartabat, dan sederajat.
Kebijakan yang lain tanpa menyengsarakan rakyat sebagaimana kebijakan menaikkan harga BBM adalah menekan pengeluaran negara agar biaya dapat dialihkan untuk pos-pos yang produktif contohnya mengendalikan cost recovery yakni pergantian seluruh biaya yang dikeluarkan kontraktor nasional dan asing dalam ekploitasi minyak dan gas bumi (migas).
Berbagai praktek manipulasi, markup cost recovery, penipuan keuangan negara, telah menyebabkan tingginya biaya yang harus ditanggung negara dalam melakukan eksploitasi migas.
Dana Cost Recovery yang harus ditanggung oleh pemerintah (APBN) meningkat setiap tahun tapi produksi turun.
Tahun 2012 biaya cost recovery telah mencapai USD 15,13 miliar atau Rp. 147.66 triliun. Sementara jumlah produksi minyak mentah nasional terus mengalami penurunan yakni sebesar 830 ribu barel/hari.
Ini merupakan fakta yang sangat aneh karena tahun 2004 cost recovery hanya sebesar USD. 5,603 atau Rp. 53.22 triliun, namun produksi minyak mentah sebanyak 1,124 juta barel perhari.
Dana Cost Recovery yang harus ditanggung oleh pemerintah (APBN) semakin besar dan tidak dapat diterima secara akal sehat.