Saya baru-baru ini berkesempatan mengunjungi kota Bangkok, Thailand. Ternyata, Bangkok adalah kota ramah terhadap pejalan kaki. Menikmati kota Bangkok yang berpopulasi 15-20 juta di siang hari, dan penduduk tetap mencapai 8.249.117 orang, ternyata lebih nyaman dengan berjalan kaki. Tingkat mobilitas penduduk yang tinggi diimbangi dengan sarana transportasi publik turut dengan cepat mengaktivasi produktivitas kota. Transportasi publik menghubungkan para pejalan kaki ke pusat-pusat aktivitas kota, seperti ruang kota, pusat perbelanjaan, dan area-area komersil lainnya. Ada beberapa inspirasi tentang ilmu kota yang sangat kuat teraplikasi di penataan kotanya. Dari Bangkok saya dapatkan inspirasi, kota bukanlah tempat menunjukkan kesombongan, tapi kota adalah pusat aktivasi. Itulah yang terjadi pada Bangkok. Pejalan kaki adalah kasta tertinggi yang menggerakan sisi humanis kota. Kenapa orang jalan kaki? Karena kotanya berhasil mewadahi aktivitas warga kota untuk menikmati skala manusiawi dari sebuah ruang kota. Perasaan nyaman saat merasakan ruang kota ini sangat masuk di akal. Perjalanan dengan berjalan kaki membuat kita merasakan skala ruang kota yang lebih utuh, tanpa pengaruh kecepatan artifisial. Saya mengambil contoh ketika di perjalanan. Saat mengendarai mobil berketinggian rendah (misal: sedan) dan berada di kondisi macet diantara mobil besar, rasanya lebih melelahkan daripada saat naik bus. Hal itu terjadi karena pandangan dipaksa untuk memainkan sudut pandang lebih dari 60derajat yang secara tak langsung memberikan tekanan psikologis. Memandang sesuatu dengan sudut pandang lebih dari 60derajat secara kontinyu akan membuat mata dan pikiran lelah. Itu juga yang terjadi saat kita berada di ruang kota. Seringkali kita langsung “ditantang” dengan pemandangan gedung tinggi yang awalnya membelalakkan mata, namun akhirnya pegal sendiri. Tapi tidak dengan pusat kota Bangkok. Pada pedestriannya yang luas terdapat aksen-aksen menarik, seperti taman dan pusat ritual yang jadi pemandangan tersendiri. Peran desain ruang terbuka kota yang baik menjadi pembentuk rasa nyaman warga saat menikmati kota. Menurut Kevin Lynch dalam bukunya "The Image of The City", ada 5 aspek yang membuat kota jadi lebih baik dan nyaman, yakni 1. Adanya paths (pola jalur yang terhubung), 2. Adanya districts (sistem grup/zonasi yang terkoneksi), 3. Terdapat edges (penyatuan garis/pattern yang berbeda) pada perancangan kota, 4. Menempatkan nodes (titik hubung) di setiap perpindahan kawasan, dan ke-5 adalah adanya landmarks (titik kumpul, pusat orientasi) yang mengaktivasi warga. Kelima aspek tersebut hadir di Bangkok (paths, districts, edges, nodes, landmarks ). Menurut Gordon Cullen di "The Concise Townscape", ruang kota adalah serial ruang yang terhubung (serial vision ). Ruang-ruang dari setiap bangunan yang saling terhubung, akan mengikat memori dan interaksi indera (rasa) pada orang yang melewatinya. Walaupun transportasi publik sudah maju, Bangkok masih menyisakan pemandangan macet di banyak tempat. Tapi hal itu lebih terasa untuk yang menggunakan mobil pribadi. Sedangkan untuk pejalan kaki, mulai dari keluar hotel bintang lima pun, bisa langsung terhubung dengan trotoar, lalu menuju akses transportasi publik. Semua trotoar didesain landai. Kaki tak harus menahan beban tubuh akibat perubahan level pedestrian yang drastis. Bayangkan saja, jika kita harus melewati 5 perubahan level yang drastis, apakah kaki tidak cepat lelah? Kecuali jika Anda ada urusan yang mendesak. Hal inilah yang seringkali membuat warga kota enggan berjalan kaki. Desain pedestrian yang tidak memerhatikan tingkat ergonomis pengguna jalan membuat pejalan kaki dianaktirikan. Seharusnya, setiap langkah kita adalah pencapaian ke makna baru. setiap langkah buruk akan membuat makna hidup lebih buruk. Kota yang baik tak membuat warganya melangkah dengan buruk bukan? Langkah nyaman di pedestrian Bangkok, mulai dari titik niat, ke titik melihat membuat setiap langkah menikmati kota jadi bermakna. Dari trotoar kita bergerak ke jembatan untuk pejalan kaki. Jembatan penyebrangan dibuat terakses dengan pusat bisnis. Terlihat, desain jembatan seperti ini justru mengaktivasi gedung itu sendiri. Jembatan untuk pejalan kaki memang sebaiknya tidak dirancang untuk “menyuruh” orang naik lalu turun lagi tanpa merasakan manfaat lain selain menyeberang jalan. Jembatan penyeberangan untuk pejalan kaki sebaiknya terkoneksi dengan pusat-pusat aktivitas. Ruang kota yang ideal tentunya akan terasa saat setiap perjalanan memiliki keterkaitan, baik di dalam perasaan maupun di logika pemikiran. Tak heran, banyak wisatawan yang justru memilih transportasi publik berbasis pejalan kaki (Bangkok Mass Transport System), sehingga lambat laun orang beralih menjadi pejalan kaki sejati. Tak usah terlalu hiraukan saran untuk berpindah dari kendaraan pribadi, dan menggunakan transportasi publik, jika pejalan kaki masih dianaktirikan. Semoga kota-kota di Indonesia bisa lebih ramah pada pejalan kaki. Hidup pejalan kaki! Foto: Zaka Sumber: - http://www.bts.co.th/index_coverPage.html - http://architectureandurbanism.blogspot.com - http://www.angelfire.com/ar/corei/ud.html - http://www.cityofpowell.us/documents/Development_Docs/City%20of%20Powell%20Pedestrian%20Scale%20Design%20Guidelines.pdf - http://www.ideaonline.co.id - http://www.olats.org/schoffer/savs2.htm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H